SYAM memang mempunyai sejarah, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga Kristen (Eropa) dan Yahudi (Israel). Bagi umat Islam, Syam adalah bumi penuh berkah. Di sana tempat para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah.
Di sana, Nabi Muhammad saw
diperjalankan, dan dimikrajkan ke Sidratil Muntaha. Bagi umat Kristiani,
wilayah Syam, dahulu adalah bagian dari imperium Romawi Timur,
Bizantium. Sementara bagi umat Yahudi, Syam juga diklaim menjadi tempat
suci mereka, dimana Haikal Sulaiman berada di sana.
Bisyârah jatuhnya Syam ke tangan
kaum Muslim ditunjukkan oleh Allah sejak Nabi Muhammad saw dilahirkan.
Saat Nabi lahir, cahaya terpancar mengiringi kelahirannya. Cahaya itu
menerangi istana-istana Syam.
Peristiwa Isra’ dan Mikraj Nabi
saw dari Masjidil Haram, di Makkah, ke Masjid al-Aqsa, di Palestina,
serta ditunjuknya Nabi saw untuk menjadi imam para Nabi dan Rasul
sebelumnya di Masjid al-Aqsa juga menguatkan Bisyârah itu. Setelah itu,
Nabi pun berulangkali menegaskan, “Uqru dar al-Islam bi as-Syam (Pusat negara Islam itu ada di Syam).”
Perang Salib Modern
Padahal saat itu, wilayah Syam
merupakan pusat kekuasaan Romawi Timur, Bizantium. Syam pun belum
ditaklukkan oleh kaum Muslim semasa hidup Nabi saw. Setelah Nabi
mengirim surat kepada Heraklius pada tahun 6 H, maka upaya pertama kali
yang dilakukan oleh Nabi saw untuk menaklukkan wilayah itu dimulai pada
tahun 10 H, saat Perang Mu’tah.
Dalam peperangan ini, Khalid bin
Walid muncul sebagai pahlawan, sekaligus membuktikan kebenaran sabda
Nabi saw. Setelah itu, sejarah kepahlawan Khalid pun ditorehkan dalam
sejarah penaklukan Syam, saat Perang Yarmuk, penaklukan Damaskus, hingga
Baitul Maqdis.
Jatuhnya Baitul Maqdis menandai berakhirnya kekuasaan
imperium Romawi Timur, Bizantium. Inilah yang menorehkan dendam kepada
umat Kristiani. Ketika mereka menyaksikan Negara Khilafah di bawah Bani
‘Abbasiyyah lemah, mereka pun melancarkan Perang Salib yang berlangsung
selama 2 abad. Saat itu, umat Islam di Syam dan Mesir bertempur
menghadapi mereka bukan sebagai umat.
Meski begitu, mereka pun
berhasil memenangkan perang itu. Setelah itu, wilayah ini pun disatukan
kembali, ketika Shalahuddin al-Ayyubi memberikan bai’atnya kepada
Khilafah ‘Abbasiyah.
Setelah orang-orang Kristen
Eropa itu dikalahkan tentara kaum Muslim dalam Perang Salib, mereka pun
harus menelan pil pahit, saat Konstantinopel jatuh ke tangan Muhammad
al-Fatih tepat tanggal 20 Jumadil Ula 857 H/29 Mei 1453 H.
Masalah ini menjadi mimpi buruk
bagi mereka, sehingga menjadi momok yang sangat mengerikan. Mereka
menyebutnya dengan Mas’alah Syarqiyyah (masalah ketimuran). Sejak saat
itu, mereka bekerja keras mencari kelemahan umat Islam, dan menunggu
kesempatan untuk menghancurkan musuh mereka ini.
Kesempatan itu pun tiba, saat Khilafah ‘Utsmaniyyah lemah.
Mereka mulai menyusun strategi. Dimulai dengan menyebarkan virus
nasionalisme di dalam tubuh umat Islam, dan merekrut orang-orang fasik
dengan iming-iming kekuasaan.
Pecahlah Revolusi Arab,
yang berhasil memisahkan wilayah Arab dari Khilafah. Setelah itu,
Perancis dan Inggeris pun melakukan invasi ke wilayah Arab. Wilayah ini,
termasuk Syam, kemudian dijadikan sebagai Mandat Inggris dan Prancis.
Mereka pun membagi wilayah ini di antara sesama mereka, dengan
Perjanjian Sykes-Pycot.
Bukan hanya Syam yang dipecahbelah, tetapi seluruh wilayah Arab juga mereka bagi-bagi sesuai dengan kepentingan mereka.
Ketika Lord Allenby, komandan
pasukan Inggeris, berhasil menduduki Palestina, tahun 1917 M, dengan
tegas dia menyatakan, “Baru sekaranglah Perang Salib telah berakhir.”
Memang benar, tujuan Perang
Salib adalah mengalahkan umat Islam, dan menghancurkan kekuatan mereka.
Kekuatan umat ini, seperti kata Lord Curzon, Menlu Inggris saat itu,
terletak pada Islam dan Khilafah. Maka, mega proyek mereka adalah
menghancurkan Khilafah, dan menjauhkan Islam dari kehidupan umatnya.
Karena itu, ketika Islam telah
kembali ke dalam pelukan umatnya, dan mereka membangun kembali mega
proyek Khilafah, George Walker Bush, mengobarkan Perang Salib kembali.
Dengan kedok Perang Melawan Terorisme, AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan
sekutunya mengobarkan Perang Salib melawan umat Islam.
Mereka pun berhasil mendapat
dukungan dari para pengkhianat umat Islam. Namun, perang melawan
terorisme ini pun menguras energi mereka. Perang dengan target untuk
menundukkan umat Islam agar menjauhi agama mereka, dan meninggalkan mega
proyek Khilafah ini ternyata gagal total.
Alih-alih ditinggalkan, justru
tuntutan umat Islam untuk kembali kepada agama mereka semakin menguat.
Demikian juga dengan mega proyek Khilafah. Jika awalnya hanya Hizbut Tahrir yang menyuarakan, kini mega proyek ini telah menjadi mega proyek umat Islam di seluruh dunia.
Karena itu, ketika Barat tengah
bergelut dengan krisis ekonomi, Timur Tengah pun bangkit dengan Arab
Spring yang telah berhasil menumbangkan boneka-boneka mereka, mereka pun
sangat takut kembalinya Islam dan Khilafah di wilayah-wilayah ini.
Di Tunisia, Aljazair, Libya,
Yaman, Mesir dan Bahrain berhasil mereka rem, dengan boneka-boneka yang
dibenci rakyatnya, dengan boneka-boneka mereka yang lain, yang bisa
diterima oleh rakyatnya. Api Arab Spring itu pun berhasil mereka
padamkan.
Namun, di Suriah, kobaran api
itu hingga kini tidak berhasil mereka padamkan. Maka, kini kobaran api
Revolusi Islam di Suriah ini pun mereka hadapi bersama. Mereka pun tahu,
jika Islam dan Khilafah kembali di Suriah, ini benar-benar akan
mengakhiri kekuasaan mereka.
Mereka mendapat dukungan penuh
dari antek-antek mereka. Turki, Iran, Libanon, Yordania, Irak, Mesir,
Qatar, Saudi dan Israel, termasuk Hizbullah semuanya bahu-membahu,
bekerja sama dengan Amerika, Inggris, Prancis, Rusia, Cina dan sekutu
mereka untuk memadamkan api Revolusi ini. Berapapun harga yang harus
mereka bayar.
Karena kembalinya Islam dan
tegaknya Khilafah di Suriah benar-benar menjadi akhir dari sejarah
mereka. Umat Islam di seluruh dunia pun menyambut bisyârah Nabi itu
dengan gegap gempita.
Sementara para Mujahidin yang berjuang di Suriah, siang dan malam terus berjuang untuk mewujudkan bisyârah Nabi.
Mereka berdatangan dari berbagai
penjuru dunia untuk mewujudkan bisyârah Nabi di tanah penuh berkah,
yang dipenuhi oleh hamba-hamba Allah pilihan, Syam. Semua ini menandai
“Kembalinya Syam Bumi Khilafah yang Hilang.”
Perang Syam, Telah Ditakdirkan
Konflik yang terjadi di Mesir
(sinai), Suriah, Irak, dan Palestina juga telah tertulis dalam Alquran.
Ustaz Bachtiar Nasir mengatakan, tafsir ayat Alquran yang memprediksi konflik Mesir terdapat dalam Surat At-Tin ayat 1-3.
"Demi (buah) Tin dan (buah)
Zaitun. Dan demi bukit Sinai. Dan demi kota (Makkah) ini yang aman,"
tutur Bachtiar membacakan terjemahan Surat At-Tin ayat 1-3 beberapa
waktu lalu.
Bachtiar berkata, tafsir dari
surat tersebut adalah, "Demi bumi tin di Damaskus (Suriah), dan demi
bumi zaitun di Palestina, dan demi bukit Thur yg ada di Sinai (Mesir).
Dan demi kota Makkah yang aman."
Jika dilihat dari kacamata
sederhana surat At-Tin, lanjutnya, maka konflik yang terjadi di Suriah,
Palestina, dan Mesir, adalah perang global yang sudah Allah takdirkan.
Perang itu, kata Bachtiar, bahkan melibatkan seluruh dunia.
Bachtiar meyakini, akhir dari
konflik Mesir juga sudah termaktub dalam Surat Al-Qashshash ayat 5 yang
menceritakan kisah Musa melawan Firaun.
"Dan Kami hendak memberi karunia
kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi (bumi)," bunyi terjemahan dari Surat Al-Qashshash ayat 5.
"Pada akhirnya di ayat itu
digambarkan orang-orang yang dilemahkan nanti akan dikuatkan dan
diwariskan kekuasaan di Mesir," tutup Bachtiar.
Dikutip Harian The New York Times, Jumat (31/1/2014), Institute for Policy Analysis of Conflict mengungkapkan sebuah laporan bahwa, Perang jihad yang diyakini sebagai perang yang paling sakral.
"Berdasarkan perhitungan ilmu akhirat (eschatology) pertempuran terakhir akan berlangsung di Syam. Kawasan Syam dikenal sebagai Suriah Raya yang meliputi Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina dan Israel," tulis laporan lembaga tersebut.
Dikutip Harian The New York Times, Jumat (31/1/2014), Institute for Policy Analysis of Conflict mengungkapkan sebuah laporan bahwa, Perang jihad yang diyakini sebagai perang yang paling sakral.
"Berdasarkan perhitungan ilmu akhirat (eschatology) pertempuran terakhir akan berlangsung di Syam. Kawasan Syam dikenal sebagai Suriah Raya yang meliputi Suriah, Yordania, Lebanon, Palestina dan Israel," tulis laporan lembaga tersebut.
Karenanya, Bachtiar mengatakan,
persoalan Suriah, Mesir dan Palestina janganlah dianggap sebagai konflik
politik. Sebab, jika melihat persoalan tersebut dari sisi politik saja
maka hati akan terasa kosong.
Lebih dari itu, ia melihat Allah telah menyiapkan skenario besar dalam peristiwa ini.
Disadur: Penulis Samir Hijawi, Wartawan Jordania, Assyarq Qatar
يوس
BalasHapus2022 Al_Aqsha Mutlaq milik umat Islam...Th.1979-1980 saya ada di LATAKIA sukses melaksanakan puasa Ramadhan di bumi Syam
BalasHapus