Tanda-tanda Akhir Zaman

Hari kiamat itu mempunyai tanda, bermulanya dengan tidak laris jualan di pasar, sedikit saja hujan dan begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. Ghibah menjadi-jadi dan merata-rata, memakan riba, banyaknya anak-anak zina, orang kaya diagung-agungkan, orang-orang fasik akan bersuara lantang di masjid, para ahli mungkar lebih banyak menonjol dari ahli haq.Wallahu'alam Bish-shawab


Sabtu, 25 Juni 2016

Perang Shiffin Sebagai Awal Fitnah Perpecahan

Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak diSyria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah.
Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali bersama barisannya dari penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan  bersama barisannya dari penduduk Syam.
1- Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).
2- Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Sayidina  Ali bin Abi Thalib dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara Shiffin. Semoga Alloh merahmati mereka.
Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimunculkan pula dari sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah  berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib  dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?
Sejarah fitnah dari kaum Munafik terhadap Kholifah
Ketika terjadi fitnah pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abdulah
bin Saba’ (seorang yahudi yang pura-pura masuk islam) dan kaumnya mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. dan kemudian memprovokasinya untuk menggantikan Utsman bin Affan ra. Namun Ali bin Abi Thalib ra. menolak provokasi tersebut bahkan kemudian membunuh sebagian pengikut
Abdullah bin Saba’ namun Abdullah bin Saba’ sendiri berhasil melarikan ke Mesir.
Ketika berada di Mesir dia bertemu dengan beberapa kaum munafiquun untuk merencanakan suatu makar yang hebat. Kemudian dengan pengaruhnya, Abdullah bin Saba’ berhasil membuat opini tentang keburukan pemerintahan Utsman bin Affan ra di Madinah. sehingga beberapa orang kaum muslimin terpengaruh oleh cerita yang‎ disebarkan oleh Abdullah bin Saba’ tersebut.
Setelah dirasakan banyak kaum muslimin yang terpengaruh olehnya maka Abdullah bin Saba’ berangkat ke madinah beserta rombongannya menuju Madinah. Sesampainya di Madinah Abdullah bin Saba’ dan rombongannya membuat fitnah yang besar terhadap Khalifah Utsman bin Affan.
Saking hebatnya fitnah itu karena juga disebarkan oleh rombongan Abdullah bin Saba’ yang besar jumlahnya maka sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum terpengaruh oleh ucapan kaum munafiquun tersebut sampai – sampai putra Khalifah pertama yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar Ash Shiddiq mendatangi Khalifah Utsman bin Affan ra. dengan marah dan menarik jenggotnya.
Dan pada puncaknya kaum munafiquun dan sebagian kaum muslimin yang baik yang terprovokasi oleh ucapan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan ra. kemudian membunuhnya.
Setelah meninggalnya Sayidina  Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun dan sebagian sahabat serta kaum muslimin yang lain membai’at Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikut. Kemudian munculah fitnah yang menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang hukuman bagi para pembunuh Sayidina  Utsman bin Affan ra.
Sahabat radhiyallahu’anhum terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin Abi Thalib ra. dan kubu ‘Aisyah ra., Mu’awiyyah ra., Thalhah ra., Zubair ra dan lainnya.
Kubu ‘Aisyah ra dan sahabat lainnya menuntut disegerakannya hukuman qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad, pertama negara dalam keadaan kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh Sayidina Utsman bin Affan ra. sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum muslimin yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra. membutuhkan kepastiannya.
Namun ‘Aisyiah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan sahabat nabi yang lain tetap
pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.
Akhirnya setelah masing – masing sahabat Nabi tersebut membawa pasukan dan siap untuk berperang, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib ra. sepakat dengan pihak ‘Aisyah ra. dan menyetujui untuk menyegerakan hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra. Rupanya kesepakatan Ali dengan kubu ‘Aisyah ra. membuat gerah kaum munafiquun yang dipimpin oleh Abdullah bi Saba’
Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari) kaum munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan melakukan penyerangan mendadak. Karena merasa diserang maka kubu Thalhah ra. dan Zubair ra. Balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan perang besar pun tak terhindarkan. Perang ini disebut Perang Jamal dan berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2 orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.
Sahabat Mu’awiyyah ra. yang pada waktu itu masih menjadi Gubernur di Damaskus menggerakan pasukannya menuju Madinah dengan tuntutan yang sama yaitu menyegerakan mengqishas pembunuh Utsman bin Affan ra.
Karena keadaan yang semakin kacau Ali bin Abi Thalib ra. tidak dapat memenuhi
tuntutan tersebut lalu terjadilah perang yang berikutnya yang dikenal dengan
nama Perang Shiffin yang berakhir dengan gencatan senjata meskipun pada waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. hampir memenangkan pertempuran tersebut. Lalu Mu’awiyyah ra. kembali ke Damaskus dan tetap menolak membaiat Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah (Lalu sebagian kaum muslimin membai’at Muawiyyah ra. sebagai Amirul Mukminin)
Dan pada itu negara Islam terbagi 2 yaitu Ali bin Abi Thalib ra di Madinah dan Mua’wiyyah ra. di Damaskus. Pada kondisi tersebut ada sebagian kecil kaum muslimin yang tidak puas kepada keduanya, dan kaum muslimin yang tidak puas kepada Ali ra. dan Mu’awiyyah ra. mereka membentuk firqah baru (inilah firqah pertama dalam Islam, disusul Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyyah, Qadariyyah, Jabariyyah dan lain sebagainya) yang disebut sebagai Khawarij dan mereka mengkafirkan kedua sahabat nabi tersebut.
Lalu kaum Khawarij mengutus pembunuh kepada keduanya, namun qadarullah hanya Ali bin Abi Thalib ra yang terbunuh, sedangkan percobaan pembunuhan terhadap Mu’awiyyah ra. dapat digagalkan.
Kaedah Penting tentang Perselisihan para Sahabat
Disini terdipat tiga hal yang telah disepakati oleh ahlu ilmi dan ahlu tahqiq dari kalangan Ahlussunnah yang mengcounter usaha pemutarbalikan fakta yang dilakukan oleh orang-orang sesat tentang perpecahan yang terjadi di zaman zahabat tentang khilafah Ali,
Pertama, Perselisihan yang terjadi antara mereka bukanlah dalam hal khilafah, tidak ada seorangpun diantara orang yang berbeda pendapat dengan Ali menyerang otoritas kekhilafahannya dan bahkan tak seorang pun mengklaim dirinya lebih berhak menyandang khilafah daripada Ali.
Kedua, Perbedaan mereka hanyalah pada apakah mengqishah para pembunuh Utsman itu disegerakan atau ditunda terlebih dahulu, namun mereka semua sepakat bahwa hal itu harus ditunaikan.
Ketiga, Meskipun mereka berselisih, tak seorangpun diantara mereka mencela kualitas keagamaan masing-masing dari mereka. Setiap pihak melihat dirinya sebagai seorang mujtahid dengan mengakui keutamaan masing-masing dalam agama Islam dan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga poin ini diindikasikan oleh riwayat-riwayat yang shahih. Diantaranya riwayat yang menjelaskan hakikat perbedaan antara sahabat yang melepaskan mereka dari tuduhan orang Syiah dan zindik. 
Ketiga poin ini merupakan perkara yang paling penting untuk membantah orang Syiah dan zindiq tersebut. Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya mempelajari hal ini beserta dalil-dalilnya. Kepada pembaca kami paparkan dalil-dalil tentang itu,
Kaedah Pertama, perselisihan yang terjadi antara mereka tidak terkait dengan khilafah, tak seorang pun diantara orang yang menyelisihi Ali ingin merebut kekhilfahan itu, bahkan tidak ada yang mengklaim bahwa dirinya lebih mulia dari Ali.
Dalil terkuatnya adalah persetujuan semua sahabat untuk membaiat Ali radhiyallahu anhusetelah terbunuhnya Utsman, yang diantara mereka ada Thalhah dan Zubair. Dalil tentang itu merupakan dalil yang shahih.
Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tarikh­nya dari Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Ali bin Abu Thalib), ia berkata, “Dulu saya bersama ayahku ketika Utsman dibunuh, ia berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Beliau juga didatangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka berkata, ‘Sesungguhnya beliau (Utsman) ini telah dibunuh dan manusia butuh seorang Imam, dan kami tidak mendapati seorangpun yang lebih berhak memegang jabatan ini, tidak ada yang lebih dahulu dari as-sabiqun al-awwalun dan tidak ada yang lebih dekat dari Rasulullah kecuali engkau’, beliau menjawab, ‘Jangan kalian lakukan itu, saya menjadi wazir lebih baik daripada saya menjadi amir’ mereka balik menanggapi, ‘Tidak, Demi Allah, kami tidak akan lakukan itu hingga kami membaiatmu’, Ali kembali menjawab, ‘Kalau begitu di Masjid. Jangan sampai baiatku ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tidak boleh juga terjadi kecuali atas keridhaan kaum Muslimin’.
Salim bin al-Ja’d berkata, Abdullah bin Abbas berkata, ‘Saya tidak menyukai bila ia mendatangi Masjid, khawatir orang berbuat kerusuhan dan menentangnya, namun ia enggan kecuali dilakukan di Masjid, ketika ia masuk, seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar juga masuk dan kemudian membaiatnya. Melihat itu manusia yang lain turut membaiatnya’.”
Dari Abu Basyir al-Ba’idi, ia berkata, “Ketika Utsman dibunuh saya berada di Madinah. Para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi Ali. Mereka berkata, ‘Wahai Abul Hasan, kemarilah kami baiat Anda’, ia menjawab, ‘Saya tidak menginginkan itu untuk mengurus kalian, tapi saya sama dengan kalian. Siapa yang kalian pilih saya ridha dengannya, demi Allah, pilihlah’ mereka balik menjawab, ‘Kami tidak akan memilih selainmu’.”
Riwayat tentang ini sangatlah banyak. Sebagiannya dinukil oleh Ibnu Jarir dalam tarikhnya. ‎Semua itu menunjukkan baiat sahabat terhadap Ali radhiyallahu anhu dan kesepakatan mereka termasuk Thalhah dan Zubair untuk membaiatnya sebagaimana yang terdapat pada riwayat-riwayat tadi secara gamblang.
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair membaiat mereka secara terpaksa, tidak diragukan lagi bahwa ini tidaklah shahih. Riwayat yang shahih justru sebaliknya.
At-Thabari meriwayatkan dari Auf bin Abi Jamilah, ia berkata, “Saya bersaksi bahwa saya mendengar Muhammad bin Sirin berkata, sesungguhnya Ali mendatangi Thalhah dan berkata ‘Julurkanlah tanganmu wahai Thalhah, saya akan membaiatmu’ Thalhah menjawab, ‘Anda lebih berhak, Andalah amirul mukminin, julurkanlah tangan Anda’ Ali menjulurkan tangannya kemudian dibaiat oleh Thalhah”
Dari Abdu Khair bin al-Khaiwani ia menghadap Abu Musa, ia berkata, “Wahai Abu Musa, apakah dua orang ini –Thalhah dan Zubair- termasuk orang yang membaiat Ali?, ia menjawab, ‘Iya’."
Sebagaimana dalil ini menegaskan batilnya apa yang diklaim tentang keterpaksaan mereka berdua membaiat Ali, Imam al-Muhaqqiq, Ibnul Arabi menyebutkan bahwa ini juga tidak pantas bagi mereka berdua, tidak juga pantas bagi Ali, beliau berkata,
“Jika dikatakan bahwa mereka berdua –Thalhah dan Zubair- berbaiat secara terpaksa kami katakan, Demi Allah! Sungguh tidak mungkin Ali memaksa mereka berdua, mereka berbuat sesuai dengan apa yang mereka inginkan, jika seandainya mereka berdua terpaksa maka itupun tak berpengaruh. Karena dengan adanya satu atau dua orang yang membaiat sudah cukup dan siapa yang berbaiat setelah itu wajib mengikuti yang pertama, meskipun pada waktu itu dia terpaksa secara syar’i. Walaupun mereka berdua tidak berbaiat, itu tidak berpengaruh pada mereka dan tidak pula pada baiat kepada khalifah.
Adapun orang yang berkata bahwa tangan yang membaiat itu tangan lumpuh dan dengan sebab itu baiatnya tidak sempurna maka itu adalah prasangka dari orang yang berkata bahwa Thalhah merupakan orang yang pertama membaiat, padahal tidak seperti itu.
Jika disebut seperti itu maka Thalhah sendiri sudah mengatakan, “Saya sudah membaiat dengan ketetapan hati”, kami katakan, riwayat ini dilemahkan oleh orang yang ingin mengubah القفا menjadi قفى, sebagaimana الهوىdirubah menjadi هوي. Itu adalah bahasa Hudzail bukan bahasa orang Quraisy. ‎oleh sebab itu hal ini merupakan kebohongan yang tidak tertata.
Adapun perkataan mereka, “يد شلاء tangan yang lumpuh” kalaupun benar, tidak ada kaitan mereka padanya. Karena sebuah tangan dilumpuhkan dalam penjagaan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam namun Rasulullah menyempurnakan urusan tangan itu. Berlindung dengan tangan itu dari segala yang tidak disukai. Perkaranya pun selesai dan takdirpun dijalankan setelah itu menurut ketentuannya.”
Begitu juga dengan Muawiyah radhiyallahu anhu. Beberapa riwayat yang shahih menyebutkan bahwa perselisihannya dengan Ali radhiyallahu anhu hanya tentang mengqsishah pembunuh Utsman, Muawiyah tidak merongrong kekhilafahannya, bahkan sebaliknya beliau mengakuinya.
Dari Abu Muslimn al-Khaulani, beliau tiba sedang orang-orang yang bersamanya menuju Muawiyah, mereka berkata, “Anda merongrong Ali ataukah Anda bersikap seperti dia?”,Muawiyah menjawab, “Tidak! Demi Allah, sungguh saya tahu bahwa beliau lebih mulia dari saya. Lebih berhak memegang jabatan khilafah daripada saya, tapi bukankah kalian tahu bahwa Utsman dibunuh secara zalim, sedangkan saya sepupunya dan penuntut darahnya? Karena itu, datangilah beliau, katakan kepadanya agar segera menyerahkan pembunuh Utsman kepadaku, setelah itu saya tunduk padanya. Datangilah Ali, ajaklah beliau berbicara dengan kalian.” Namun Ali tidak menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya.
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Dizil melalui sanadnya yang sampai ke Abu Darda’ dan Abu Umamah radhiyallahu anhum, “Mereka berdua menemui Muawiyah, ‘Wahai Muawiyah, atas alasan apa Anda memerangi lelaki ini (Ali)?, Demi Allah, beliau lebih dahulu masuk Islam daripada Anda dan ayah Anda, lebih dekat kepada Rasulullah daripada Anda, lebih berhak memegang tampuk kekhilafahan daripada Anda!’ Muawiyah menjawab, ‘Saya memeranginya karena menuntut darah Utsman karena beliau tidak mau mengqishah para pembunuh Utsman. Menghadaplah kalian berdua kepadanya dan katakan, ‘Segeralah tumpas para pembunuh Utsman’ niscaya saya adalah orang pertama yang membaiatnya dari penduduk Syam’.”
Riwayat tentang ini yang sangat masyhur di kalangan para ulama menunjukkan bahwa Muawiyah tidaklah merongrong kekhilafahan Ali radhiyallahu anhuma, karena itu para ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu menulis masalah ini dan menetapkan kesimpulan ini.
Imam al-Haramain, al-Juwaini berkata,“Sesungguhnya Muwaiyah, meskipun beliau memerangi Ali, tapi beliau tidaklah mengingkari imamahnya, dan tidak pula mengklaim imamah itu untuk dirinya. Yang beliau inginkan hanyalah menuntut para pembunuh Utsman dengan sangkaan bahwa ijtihad beliau benar, padahal salah.” 
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Diantara keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah tentang peperangan-peperangan yang terjadi antara Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhuma adalah bahwa Muawiyah tidak merongrong kekhilafahan Ali dengan adanya ijma’ bahwa ijtihad yang benar berada pada pihak Ali sebagaimana yang telah lalu. Olehnya, musibah perselisihan (peperangan) tersebut bukanlah disebabkan karena Muwaiyah ingin menuntut khilafah. Namun musibah perselisihan (peperangan) tersebut mencuat karena Muwaiyah dan orang-orang yang bersamanya menuntut Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman kepada mereka, dimana Muawiyah merupakan sepupu Utsman. Namun begitu, Ali tetap enggan.”
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Muawiyah tidaklah mengklaim dirinya sebagai khalifah, tidak berbaiat kepada Ali ketika memeranginya, tidak memerangi Ali dengan anggapan bahwa dirinya seorang khalifah dan tidaklah pula beliau berhak sebagai khalifah. Justru beliau mengakui kekhilafahan Ali. Pengakuan Muawiyah terhadap kekhilafahan Ali diketahui oleh orang yang bertanya kepada beliau. Semua kelompok mengakui bahwa Muawiyah tidak sepadan dengan Ali untuk memegang kekhilafahan. Dan tidak boleh bagi Muawiyah menjadi khalifah meskipun peluang mengguling kekhilafahan Ali  terbuka. Karena keutamaan Ali dan tiga pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam hal ilmu, agama, keberanian dan segala keutamaan bagi mereka itu jelas dan sangat dikenal.”
Dengan semua ini menjadi pastilah bahwa tidak seorang pun sahabat ingin merebut kekuasaan Ali radhiyallahu anhu baik yang menyelisihinya maupun selainnya. Dengan ini pula klaim orang Syiah ini  bahwa para sahabat saling berebut kekuasaan adalah batil, demikian juga tentang perpecahan umat.
Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin
Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah, Rabbul ‘Alamin.
Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah SAW dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin.
Allah berfirman,
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara 
para sahabat.
Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
 
“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani  dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34]) 
Demikian pula sabda beliau,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)
Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap terhadap para sahabat Rasulullah SAW. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka.
Allah lberfirman,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah . Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah.
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah l telah mengampuni dan meridhai mereka semua.
Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat
Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. 
Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah di antaranya,
1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul SAW dibicarakan.
Rasulullah  bersabda,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah  kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan Mu’awiyah. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan sabda beliau,
دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kenyataan ini tentu membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu 
secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.
Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Musa al-‘Asy’ari dari pihak Ali bin Abi Thalib. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Ali bin Abi Thalib terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.
Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan  & Keutamaan Mu’awiyah 
Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali  menggantikan posisi ayahandanya.
Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan. 
Terwujudlah berita Rasulullah  tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan  berkata,
وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)
Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali dan Mu’awiyah 
Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah.
Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimat Allah, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul  bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka).
Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah. Al-Hasan  berkata,
قَدْ كَانَ جَمَاجِمُ الْعَرَبِ فِي يَدِي يُحَارِبُونَ مَنْ حَارَبْتُ وَيُسَالِمُونَ مَنْ سَالَمْتُ، تَرَكْتُهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَحَقْنَ دِمَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ 
“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad ….” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)
Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti
Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah  sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban.
Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi kaum mukminin.
Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n فِي الْمَنَامِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ جَالِسَاهُ عِنْدَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَجَلَسْتُ، فَبَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ إِذْ أُتِيَ بِعَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ، فَأُدْخِلَا بَيْتًا وَأُجِيفَ الْبَابُ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ: قُضِيَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. ثُمَّ مَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ يَقُولُ: غُفِرَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ.
Aku melihat Rasulullah  dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah.
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya,
Sa’d bin Abi Waqqash  berkata ketika diajak berperang,

لاَ أُقَاتِلُ حَتَّى يَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ يَعْرِفُ الْكَافِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِ
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi.)
Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah  di atas. Hadits yang lebih tegas menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah  tentang keutamaan al-Hasan bin Ali. Rasulullah bersabda,
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
 
“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali, cucu Rasulullah, pemimpin pemuda ahlul jannah.

Rabu, 22 Juni 2016

Munculnya Dukhon Dan Dabbah Di Akhir Zaman

Bagi siapa pun yang mengaku sebagai Ahlussunnah wal Jamaah tentu tidak ragu dan segan sedikit pun untuk meyakini hal ini. Tidak ada alasan baginya menolak sesuatu yang dijelaskan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah yang shahih.
وَنُؤْمِنُ بِأَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى ابنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا
 


(110) Kami beriman kepada tanda-tanda hari Kiamat; seperti keluarnya Dajjal, turunnya ‘Isa putra Maryam ‘alayhissalam dari langit, terbitnya matahari dari arah tenggelamnya, dan keluarnya dabbah (binatang) bumi dari tempatnya.‎

Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah Swt.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا تَأْتِيكُمْ إِلا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: ‘Bilakah terjadinya?’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’”(Q.S. Al-A’raf [7]: 187)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ سِتًّا الدَّجَّالَ، وَالدُّخَانَ، وَدَابَّةَ الأَرْضِ، وَطُلُوْعَ الشَمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَأَمْرَ العَامَّة، وَخُوَيِّصَةَ أَحَدِكُمْ.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bersegeralah berbuat baik sebelum datangnya enam perkara: Dajjal, dukhan, binatang bumi, terbitnya matahari dari barat, Kiamat dan kematian salah seorang dari kalian.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw bersabda,
ثَلاَثٌ إِذَا خَـرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِـي إِيْمَانِهَا خَيْرًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَالدَّجَّالُ وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ
 
“Ada tiga perkara yang jika keluar maka tidak akan berguna lagi keimanan orang yang belum beriman sebelumnya; atau belum mengusahakan kebaikan yang dilakukan dalam keimannya. Ketiga perkara itu adalah: terbitnya matahari dari barat, Dajjal dan binatang bumi.” (HR. Muslim)‎
Beliau juga bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوْجًا طُلُوْعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوْجُ الدَّابَّةِ عَلَـى النَّاسِ ضُحًى فَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيْبًا
“Sesungguhnya tanda-tanda (Kiamat) yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari barat dan keluarnya binatang kepada manusia pada waktu Dhuha. Mana saja yang lebih dahulu muncul, maka yang satunya akan terjadi setelahnya dalam waktu yang dekat.” (HR. Muslim)‎
Di antara tanda-tanda hari kiamat kubra adalah terjadinya khasf, munculnya asap, dan keluarnya ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara).
Terjadi Khasf di timur, barat dan di negeri arab‎
Khasf yang dimaksudkan di sini, bukanlah terjadinya gerhana sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi khasf yang merupakan tanda hari kiamat adalah ditenggelamkannya manusia ke dalam bumi, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an ketika Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Qarun yang tidak bersyukur dengan kenikmatan yang telah diberikan kepadanya:
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ اْلأَرْضَ … القصص: 81
Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi… (al-Qashash: 81)‎
Hudzaifah bin Usaid berkata bahwa Rasulullah SAW muncul ketika kami sedang berbincang-bincang tentang kiamat. Beliau bertanya “apa yang sedang kalian perbincangkan?”. Mereka pun menjawab,”kami sedang membicarakan kiamat”. Lalu Rasulullah bersabda:
انها لن تقوم حتى ترى عشر آيات الدخان والدجال والدابة وطلوع الشمس من مغربها ونزول عيسى ابن مريم ويأجوج ومأجوج وثلاثة خسوف خسف بالمشرق وخسف بالمغرب وخسفف بجزيرة العرب وآخر ذلك نار تخرج من قبل عدن تطرد الناس إلى محشرهم.(روه مسلم)
“kiamat itu tidak akan terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda: asap, Dajjal, binatang melata, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam, Ya’juuj dan Ma’juuj, tiga gempa (di timur, barat dan Jazirah arab), dan yang terakhir adalah api yang keluar dari ‘And yang menggiring manusia ke Makhsyar”.(HR. Muslim)
‎Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan bahwa terjadinya adzab tersebut adalah ketika manusia telah tenggelam dalam kemaksiatan dan dosa sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umu Salamah ‎radhiallahu ‘anha . Beliau mendengar Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سَيَكُوْنُ بَعْدِي خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيْرَةِ الْعَرَبِ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُخْسَفُ اْلأَرْضُ وَفِيْهَا الصَّالِحُوْنَ؟ قَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِذَا أَكْثَرَ أَهْلُهَا الْخَبَثَ. (رواه الطبراني في معجم الأوسط)
“Akan terjadi setelahku khasf di timur, di barat dan di negeri arab”. Saya katakan: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apakah manusia akan ditenggelamkan, padahal di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang shalih?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika mayoritas penduduknya telah banyak melakukan kemaksiatan (dosa).” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath).
Ibnu Hajar al-Atsqalani rahimahullah berkata: “Telah didapati khasf di beberapa tempat, namun bisa jadi yang dimaksud dengan kejadian khasf tersebut adalah sesuatu yang luar biasa (lebih dari biasanya). Apakah lebih dahsyat kejadiannya, atau lebih luas daerah yang ditenggelamkannya atau ukurannya”. (Lihat Fathul Bari, juz 13 hal. 84)
Munculnya Asap (ad-Dukhan)‎
Tanda-tanda hari kiamat kubra yang berikutnya adalah munculnya asap. Allah subhanahu wa Ta’alaberfirman:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِينٍ (10) يَغْشَى النَّاسَ هَذَا عَذَابٌ أَلِيمٌ. الدخان: 10-11
Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (ad-Dukhan: 10-11)
Ayat ini merupakan ancaman kepada kaum musyrikin Quraisy khususnya dan orang-orang kafir umumnya bahwa Allah subhabahu wa Ta’ala akan menurunkan adzab kepada mereka berupa asap yang akan menutupi mereka seluruhnya.
Para ahli tafsir berselisih pendapat tentang asap di dalam ayat tersebut, apakah yang akhirnya menimpa kaum Quraisy ketika itu berupa panas dan kemarau panjang serta kelaparan? atau asap yang akan datang sebagai tanda hari kiamat yang besar yang disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih?
Di antara mereka yang berpendapat dengan pendapat pertama adalah Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ketika ada seorang dari negri Kindah menyatakan tentang asap yang akan datang pada hari kiamat yang akan memekakan telinga-telinga kaum munafiqin dan membutakan mata-mata mereka, beliau marah sambil berkata:

مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ: اللهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ مِنَ الْعِلْمِ أَنْ يَقُوْلَ لِمَا لاَ يَعْلَمُ لاَ يَعْلَمُ. فَإِنَّ اللهَ قاَلَ لِنَبِيِّهِ: قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ .
Barangsiapa yang memiliki ilmu maka katakanlah! Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu maka katakanlah: ‘Allahu a’lam!” Karena sesungguhnya termasuk ilmu adalah ucapan orang pada apa yang dia tidak tahu: “aku tidak tahu”. Sesungguhnya Allah telah mengatakan kepada nabi-Nya: ((“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kalian dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan (memaksakan diri”)).
Kemudian Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya kaum Quraisy tidak mau menerima Islam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan atas mereka:
أَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَيْهِمْ بِسِنِيْنَ كَسِنِيْ يُوْسُفَ.
Ya Allah tolonglah aku untuk mengalahkan mereka dengan kelaparan seperti yang terjadi pada zaman nabi Yusuf. (HR. Bukhari dalam Kitab Tafsir dan Muslim dalam Shifatul Qiyaamah).
Maka terjadilah kemarau panjang dan kelaparan, hingga sebagian mereka binasa dan sebagian lainnya memakan bangkai-bangkai dan tulang-tulang. Ketika itu setiap orang melihat seakan-akan di antara langit dan bumi ada asap. (Atsar riwayat ad-Darimi juz 1/62; Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayaanil Ilmi, juz 2/51; Baihaqi dalam al-Madkhal no. 797; al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqih; melalui nukilan Hilyatul Alimi al-Mu’allim, hal. 59)
Pendapat ibnu mas’ud radhiallahu ‘anhu ini sesuai dengan konteks ayat di atas yang mengancam kaum Musyrikin Quraisy. Namun demikian, tidak menafikan ancaman umum kepada seluruh orang-orang kafir dan musyrikin dengan asap yang turun menjelang hari kiamat kelak. Karena dalil-dalil yang shahih tentang tanda-tanda kiamat kubra sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah di antaranya adalah munculnya ad-dukhan (asap).
Kemarahan yang diucapkan oleh Ibnu Mas’udradhiallahu ‘anhu di atas bukanlah karena beliau menafikan munculnya asap menjelang hari kiamat, tetapi karena beliau mengerti orang tersebut berbicara tanpa ilmu dengan mengatakan bahwa asap tersebut dapat membutakan mata dan memekakan telinga. Karena dalam riwayat lain, Ibnu Mas-‘ud mengatakan ada dua asap, salah satunya telah terjadi dan yang lain akan datang menjelang hari kiamat.
Dalam hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:

بَادِرُوا بِاْلأَعْمَالِ سِتًّا طُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا أَوِ الدُّخَانَ أَوِ الدَّجَّالَ أَوِ الدَّابَّةَ أَوْ خَاصَّةَ أَحَدِكُمْ أَوْ أَمْرَ الْعَامَّةِ . رواه مسلم في الفتن وأشرط الساعة
Bersegeralah kalian beramal sebelum datangnya enam perkara: terbitnya matahari dari arah barat, datangnya asap, munculnya Dajjal, keluarnya ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara), kematian atau datangnya hari kiamat yang merata. (HR. Muslim dalam al-Fitan wa Asyrathu as-Sa’ah).
Keluarnya ad-Dabbah (binatang yang dapat berbicara)
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
 
وَلِلّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مِن دَآبَّةٍ وَالْمَلآئِكَةُ وَهُمْ لاَ يَسْتَكْبِرُونَ) (سورة: النحل: 49)
Artinya:
“Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang berada di langit yang belapis-lapis dan semuamakhluk yang melata di bumi dan jugaPara malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri”  (QS An-Nahl 16 : 49).
Disebutkan oleh Syeikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir “Al-Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan” (1/442) :
 
{وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ مِنْ دَابَّةٍ} من الحيوانات الناطقة والصامتة، {وَالْمَلائِكَةُ} الكرام خصهم بعد العموم لفضلهم وشرفهم وكثرة عبادتهم ولهذا قال: {وَهُمْ لا يَسْتَكْبِرُونَ} أي: عن عبادته على كثرتهم وعظمة أخلاقهم وقوتهم.
 


“(Dan kepada Allah sajalah bersujud segala makhluk melata yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi) dari Hewan-hewan yang dapat berbicara dan hewan-hewan yang tidak dapat berbicara, (Dan Malaikat) yang Mulia, (Allah) mengkhususkan mereka setelah menyebutkan yang umum, hal itu karena kelebihan mereka, kemuliaan mereka, banyaknya ibadah yang mereka lakukan. Maka dari situlah Allah berfirman : (dan Mereka, ya’ni: “Para Malaikat” tidak menyombongkan diri).(“Al-Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan” (1/442) ‎

Dalam ayat lain, Tentang keberadaan Dabbah di Langit yang berlapis-lapis (Samawat) dan Juga Pada Bumi. 
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَابَّةٍ وَهُوَ عَلَى جَمْعِهِمْ إِذَا يَشَاء قَدِيرٌ)
 (الشورى:29)
Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya. (QS Asy-Syuura 42 : 29)
Syeikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir “Al-Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan”  (1/759) :
.
أي: ومن أدلة قدرته العظيمة، وأنه سيحيي الموتى بعد موتهم، و{خَلْقُ} هذه {السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ} على عظمهما وسعتهما، الدال على قدرته وسعة سلطانه، وما فيهما من الإتقان والإحكام دال على حكمته وما فيهما من المنافع والمصالح دال على رحمته، وذلك يدل على أنه المستحق لأنواع العبادة كلها، وأن إلهية ما سواه باطلة.
{وَمَا بَثَّ فِيهِمَا} أي: نشر في السماوات والأرض من أصناف الدواب التي جعلها الله مصالح ومنافع لعباده. {وَهُوَ عَلَى جَمْعِهِمْ} أي: جمع الخلق بعد موتهم لموقف القيامة {إِذَا يَشَاءُ قَدِيرٌ} فقدرته ومشيئته صالحان لذلك، ويتوقف وقوعه على وجود الخبر الصادق، وقد علم أنه قد تواترت أخبار المرسلين وكتبهم بوقوعه.
 Artinya:
“Diantara dalil Qudrah  Allah yang besar adalah Bahwasanya Allah mampu menghidupkan orang yang telah mati, dan(Pencipta’an  langit yang berlapis lapis dan Bumi) ini  yang begitu besar (bentuk) nya dan begitu luas (ukuran) nya. hal itu menunjukkan adanya Qudrah dan Keluasan ilmu-Nya, dan Apa saja di dalamnya (ya’ni Qudrah dan keluasan ilmu) dari berbagai peraturan dan hukum-hukum yang menunjukkan atas hikmahnya.‎
Dan apa saja didalamnya dari manfa’at dan maslahat, hal itu menunjukkan atas rahmat-Nya, hal itu juga hal-hal yang berkaitan didalamnya dari berbagai ibadah semuanya, dan Sesungguhnya Tuhan-Tuhan (yang disembah) selain Allah adalah Bathil. (dan makhluk-makhluk yang melata (Dabbah) Yang Dia sebarkan pada keduanya.) ya’ni: yang di sebarkan di lapisan-lapisan langit
Dan Bumi dari berbagai jenis Dabbah yang Allah jadikan sebagai maslahat dan manfa’at untuk hamba-hambaNya, (Dan Dia mampu mengumpulkan mereka (Dabbah-Dabbah)  semuanya) : ya’ni [di bangkitkan, lalu] dikumpulkan setelah kematian mereka di saat hari Qiyamat(hal itu jika Allah menghendaki). Maka Qudrah (Kemampuan) dan Masyi’ah (Kehendak) sangat berkaitan erat atas hal tersebut…” (“Al-Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan”  (Tafsir “Al-Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan”))      
Ada Sejenis Dabbah Asing Dari Dalam Bumi, dan Akan Keluar Ke Permukaan Bumi (Sebelum Datang Hari Kiyamat), Binatang ini Akan Berbicara Pada Manusia.‎
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِنَ اْلأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لاَ يُوقِنُونَ. النمل: 82

Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka, Kami keluarkan sejenis binatang dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.(an-Naml: 82)
Dalam Tafsir Ibnu Jarir Ath-ThabariRahimahullah menukil dari Abdullah bin Umar dan Athiyah, beliau berdua berkata: “(Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka) ya’ni: ketika saat itu (di Bumi) tidak ada amar ma’ruf dan Nahi Munkar. (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an: 19/496).‎
Imaam Ibnu Katsiir رحمه اللهmengatakan dalam tafsir ayat diatas bahwa Ad Dabbah ini akan keluar di akhir zaman ketika manusia sudah semakin rusak. Ketika manusia sudah meninggalkan apa yang Allah سبحانه وتعالى perintahkan kepada mereka. Dan ketika manusia sudah merubah (menukar) Dien Islam yang benar menjadi Dien yangbaathil. 
Kata beliau Imaam Ibnu Katsiir رحمه اللهdalam tafsirnya selanjutnya mengaatakan, bahwa “Allah سبحانه وتعالى mengeluarkan Ad Daabbahdari bumi, lalu binatang itu berbicara kepada mereka”.
Berkata para ulama tentang ayat di atas bahwa makna “telah jatuh atas mereka” adalah telah layak ancaman Allah untuk mereka. Hal itu karena kemaksiatan, kefasikan dan kekafiran mereka telah melampaui batasnya. Mereka telah berpaling dari ayat-ayat Allah, tidak mau membaca dan tunduk pada hukum-hukumnya, di mana tidak berguna lagi nasehat untuk mereka, dan tidak memalingkan mereka peringatan-peringatan.
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan bahwa maksud “telah jatuh ucapan atas mereka” adalah dengan matinya para ulama, hilangnya ilmu, dan terangkatnya al-Qur’an …. Kemudian beliau berkata:“Maka perbanyaklah membaca al-Qur’an sebelum diangkatnya”. (Tafsir Qurthubi juz 13 hal. 234; melalui nukilan Asyrathu as-Sa’ah, hal. 404).
Selain ayat di atas, dalil-dalil dari hadits tentang akan keluarnya ad-Dabbah ini sangat banyak, di antaranya:
Dalam hadits Hudzaifah bin usaid radhiallahu ‘anhu tentang 10 tanda-tanda hari kiamat yang diriwayatkan oleh Muslim.
 
انها لن تقوم حتى ترى عشر آيات الدخان والدجال والدابة وطلوع الشمس من مغربها ونزول عيسى ابن مريم ويأجوج ومأجوج وثلاثة خسوف خسف بالمشرق وخسف بالمغرب وخسفف بجزيرة العرب وآخر ذلك نار تخرج من قبل عدن تطرد الناس إلى محشرهم.(روه مسلم)
“kiamat itu tidak akan terjadi hingga kalian melihat sepuluh tanda: asap, Dajjal, binatang melata, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam, Ya’juuj dan Ma’juuj, tiga gempa (di timur, barat dan Jazirah arab), dan yang terakhir adalah api yang keluar dari ‘And yang menggiring manusia ke Makhsyar”.(HR. Muslim)‎
Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas yang diriwayatkan oleh Muslim tentang beramallah sebelum datang enam perkara.
Hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
 
ثَلاَثٌ إِذَا خَرَجْنَ لاَ يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا طُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَالدَّجَّالُ وَدَابَّةُ اْلأَرْضِ. رواه مسلم في كتاب الإيمان 2/195 بشرح النواوي
Tiga perkara jika telah keluar, maka tidak berguna lagi bagi seseorang keimanannya yang belum beriman sebelumnya atau belum beramal kebaikan sedikit pun sebelumnya: terbitnya matahari dari barat, munculnya Dajjal dan keluarnya ad-Dabbah. (HR. Muslim dalam kitab al-Iman juz 2/195 dengan syarh Imam Nawawi)
Hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
 
إِنَّ أَوَّلَ اْلآيَاتِ خُرُوجًا طُلُوعُ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَخُرُوجُ الدَّابَّةِ عَلَى النَّاسِ ضُحًى وَأَيُّهُمَا مَا كَانَتْ قَبْلَ صَاحِبَتِهَا فَاْلأُخْرَى عَلَى إِثْرِهَا قَرِيبًا. رواه مسلم في كبات الفتن وأشرط الساعة 18/27 بشرح النواوي
Sesungguhnya awal tanda-tanda terjadinya hari kiamat adalah terbitnya matahari dari arah tenggelamnya dan keluarnya ad-Dabbah di antara manusia pada waktu dluha. Yang mana pun keluar lebih dulu sebelum yang lainnya, maka yang lainnya muncul di belakangnya secara dekat. (HR. Muslim dalam kitab al-Fitan wa Asyrathu as-Sa’ah, 18/27 dengan syarh Imam Nawawi)
Hadits Abu Umamah radhiallau ‘anhu dalam riwayat imam Ahmad:
 
تَخْرُجُ الدَّابَّةُ فَتَسِمُ النَّاسَ عَلَى خَرَاطِيمِهِمْ ثُمَّ يَغْمُرُونَ فِيكُمْ حَتَّى يَشْتَرِيَ الرَّجُلُ الْبَعِيرَ فَيَقُولُ مِمَّنِ اشْتَرَيْتَهُ فَيَقُولُ اشْتَرَيْتُهُ مِنْ أَحَدِ الْمُخَطَّمِينَ. رواه أحمد وصححه الألباني، انظر صحيح الجامع الصغير 3/37 وسلسلة الأحاديث الصحيحة 1/3/322
Akan keluar sejenis binatang kemudian menandai manusia di muka-muka mereka kemudian bertambah banyaklah di tengah-tengah kalian (orang-orang yang bertanda), hingga ketika seseorang membeli unta ditanya:“Dari siapa engkau membeli unta ini?” Maka dia menjawab : “Aku membeli dari salah seorang yang telah diberi tanda” (tanda kafir atau mukmin –pent). (HR. Ahmad; dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani; Lihat Shahih al-Jami’u ash-Shaghir 3/37 dan Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah 1/3/322)
Allah memberlakukan Ajaran Tauhid pada Seluruh Makhluk Yang Ada Di Lapisan Langit (Yaitu Malaikat) dan  Makhluk Bumi [Makhluk Bumi], Karena ketiga Makhluk ini berakal, berbeda dengan Dabbah.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
 
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (93)
Artinya:
Tidak ada sesiapapun di langit dan di bumi melainkan dia akan datang kepada (Allah) Ar-Rahman, sebagai hamba. (QS. Maryam: 93)
Dalam Tafsir Ibnu Jarir Ath-ThabariRahimahullah menafsirkan ayat :” Tidak ada sesiapapun di langit dan di bumi melainkan dia akan datang kepada ( Allah) Ar-Rahman, sebagai hamba.” Yaitu Seluruh Para MALAIKAT yang menjadi penghuni langit, dan Seluruh MANUSIA dan JIN Sebagai penduduk Bumi, melainkan mereka semua datang menemui Rabbnya dalam keadaan seorang hamba, yang hina, tunduk, patuh”. (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an: 19/496).‎
Allah senantiasa memperlihatkan Tanda-tanda KekuasaanNya di segala penjuru Bumi, agar manusia tahu tentang kebenaran Al-Qur’an.
 Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (53)
Artinya:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda ayat (kekuasaan) kami di segala Ufuq dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?. (Surat Al-Fushshilat ayat 53)
Imam Al-Baghawi dan Imam Al-Qurtubi menukil dari perkata’an Ulama’ tabi’in Atha’ dan ibnu Zaid dalam menafsirkan ayat: “Kami akan memperlihatkan Tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala Ufuq, ya’ni : penjuru langit dan Bumi, baik dari Matahari, Bulan, Bintang-bintang, Tanaman-tanaman, Pepohonan, Dan pada diri mereka sendiri” ya’ni: sempurnanya cipta’an (pada mereka sendiri), dan  terangnya Hikmah, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahwasanya Al-Qur’an itu benar.” (Tafsir Qurtubi (15/374-375), Tafsir Ma’alimut Tanzil lil Baghawi: 7/179) ‎
Yang telah terbukti dari Dalil Al-Qur’an Maupun As-Sunnah yang Shahih Tentang Adanya Binatang Dabbah.‎
Sebagian manusia menafsirkan ad-Dabbah dengan berbagai macam penafsiran. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa ad-Dabbah adalah sejenis virus yang akan membikin cacat manusia dengan tidak membawakan dalil sama sekali kecuali dari akalnya.
Kita katakan bahwa tidak perlu kita menebak-nebak sesuatu tanpa ilmu. Apa yang telah diberitakan kita imani, sedangkan apa yang tidak diberitakan kita katakan ‎wallohu a’lam.‎
KESIMPULAN
            ‎
Hari kiamat merupakan Hari yang menadai berakhirnya kehidupan alam semesta. Namun hari kiamat tersebut tidak dijelaskan kepastian kapan datangnya di dalam Al-Qur an dan Hadits. Melainkan hanya dijelaskan mengenai beberapa tanda-tanda kiamat itu akan tiba.‎