Keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dan penutup para
Nabi dan Rasul sesungguhnya merupakan suatu keyakinan mutlak yang
mesti melekat pada diri seorang muslim, jika keyakinan tentang ini goyah
pada diri seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan RasulNya,
maka pada saat yang bersamaan berate imannya turut goyah, sehingga itu
sudah menjadi keharusan /kewajiban bagi setiap muslim dan muslimat untuk
mempertahankan keyakinannya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan
Rasul terakhir.
Rasul adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu dari Allah SWT. Allah memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana semestinya kita menyikapi jika sekiranya pada zaman kita ada seorang yang mengaku sebagai nabi atau rasul, yang menyatakan diri sebagai penerima wahyu dan pembawa ajaran kebenaran lalu kemudian mengajarkan dan mendakwahkan ajaran-ajaran yang diterimanya hingga memiliki pengikut, penganut dan menjadi umatnya, maka pada saat sepertin ini seyogyanlah kita memiliki sebuah sikap yang kosnsisten sebagai sebuah jalan atau cara dalam menagkal berbagai fenomena yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan beragama kita sebagai penganut ajaran agama Islam.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah danpenutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33): 40)
Ayat ini secara sharih (jelas) menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah penutup para nabi alias nabi terakhir.
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma’il dari Ibnu Dinar -yaitu Abdullah- dari Abu Shalih As Samman dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: \”Permisalanku dengan para Nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membuat bangunan, ia memperbagus dan memperindahnya kecuali satu bata pada salah satu sudut bangunan tersebut, maka manusia berkeliling dan merasa kagum, dan mereka berkata; ‘Sekiranya satu bata ini disempurnakan, ‘ beliau bersabda: \”Maka aku adalah satu bata tersebut, dan aku adalah penutup para Nabi.\” ( Bukhari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3271. Muslim, Kitab Al Fadhail Bab Dzikru Kaunuhu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 404, No hadits. 4239, Imam Ahmad hadits no 8802)
Imam Ibnu Hajar berkata:
Hadits ini memberikan perumpamaan dalam rangka memudahkan pemahaman dan menunjukkan keutamaan Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam di atas nabi – nabi lainnya dan Allah ta’ala menutup kerasulan dengannya serta menyempurnakan syariatNya degannya pula.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari,Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3270)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, setelah ia mengutarakan berbagai hadits tentang kedudukan Rasulullah sebagai penutup para nabi, beliau berkata:
“Allah Ta’ala telah mengabarkan melalui KitabNya, begitu pula RasulNya telah menyampaikan secara mutawatir (pasti benar) darinya: bahwa tidak ada nabi setelahnya. Agar manusia mengetahui bahwa setiap manusia yang mengaku memiliki kedudukan sebagai nabi setelah beliau, maka orang itu adalah pendusta, dajjal yang sesat dan menyesatkan, walau dia memiliki kemampuan di luar kebiasaan dan mampu menipu penglihatan manusia, mendatangkan berbagai sihir dan kekuatan. Semuanya adalah tipuan dan kesesatan di mata Ulil Albab (orang-orang yang berpikir). “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 431).
Hal di atas dijelaskan oleh Imamul Mufassirin, Abu Ja’far bin Jarir ath Thabari, beliau berkata:
Para Qurra (Ahli Pembaca Al Quran) berbeda pendapat tentang bacaan terhadap ayat Khaataman nabiyyin. Para Qurra dari Al Amshar (kota besar) kecuali Al Hasan dan ‘Ashim, mereka mengkasrahkan huruf ta’ menjadi(Khaatim an Nabiyyin) yang bermaknakhataman nabiyyin penutup para nabi (huruf kha’ pendek). Disebutkan bahwa itulah cara baca Abdullah bin Mas’ud (walakin nabiyyan khataman nabiyyin – tidak memanjangkan kha’ menjadi khaataman). Ini adalah dalil atas benarnya pihak yang membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, maknanya: “Bahwa dia adalah penutup para nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa ‘Alaihim. Adapun yang membaca dengan memfathahkan (Khaatam an Nabiyyin) sebagaimana yang telah disebutkan yakni Al Hasan dan ‘Ashim, maknanya: “Bahwa dia adalah akhir dari nabi – nabi.” (Imam Abu Ja’far bi Jarir ath Thabari, Jami’ al Bayan fii Ta’wil Al Quran, Juz. 20, Hal. 279).
Imam Al Qurthubi berkata:
“Mayoritas membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, bermakna bahwa dia adalah penutup mereka (para nabi) yaitu yang akhir datangnya di antara mereka.” (Imam Al Qurthubi,Jami’ Li Ahkam Al Quran, Juz. 14, Hal. 196. Dar Ihya ats Turats al ‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H).
Imam Abu Muhammad Al Husein bin Mas’ud al Baghawi berkata dalam tafsirnya:
“Dengannya Allah telah menutup kenabian. ‘Ashim membacanya ‘Khaatam’ dengan fathah pada huruf ta’menjadi isim, yakni, “Akhirnya mereka (nabi-nabi).” Sedangkan yang lain membaca dengan mengkasrahkan ta’ menjadi faa’il, karena dengannyalah menutup para nabi, dan dia penutup mereka.” (Imam al Baghawi, Ma’alimut Tanzil, Juz. 6 Hal. 358).
Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar asy Syihi biasa disebut Al Khazin berkata dalam tafsirnya:
“Dengannya Allah telah menutup kenabian, maka tidak ada kenabian setelahnya, yaitu tidak pula bersamanya.” (Imam al Khazin, Lubab at Ta’wil fii Ma’ani at Tanzil, Juz. 5, Hal. 199).
Kemunculan nabi-nabi palsu di muka bumi ini sesungguhnya merupakan salah satu tanda dari sekian tanda hari kiamat. Di antara mereka, ada yang sekadar mengaku-ngaku. Namun ada pula yang “mendakwahkan” ajarannya sehingga punya banyak pengikut.
Kemunculan para Nabi palsu adalah salah satu tanda akan bangkitnya hari kiamat sekaligus tanda kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad bin Abdillah. Di mana apa yang beliau beritakan akan kemunculan mereka benar sesuai kenyataan yang ada, karena beliau berucap dari wahyu bukan dari hawa nafsu dan kedustaan. Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ
“Tidaklah hari kiamat bangkit sehingga dibangkitkan para (Dajjal) pendusta, pembohong, mendekati 30 orang. Masing-masing mengaku bahwa dirinya adalah Rasulullah.” (Shahih, Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab ‘Alamatun Nubuwwah fil Islam, Muslim Kitabul Fitan Wa Asyrathus Sa’ah, Bab La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurra Ar-Rajul bi Qabri Ar-Rajul… no. 3413)
Dari Tsauban, ia berkata Rasulullah bersabda:
“Tidak akan bangkit hari kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga beberapa qabilah dari umatku menyembah berhala-berhala, dan sesungguhnya akan muncul pada umatku para pendusta berjumlah 30 masing-masing mereka mengaku nabi dan akulah penutup para nabi tiada nabi sesudahku.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Fitan wal Malahim Bab Dzikru Al Fitan wa Dalailuha, Juz. 11, Hal. 322, No hadits. 3710. At Tirmidzi, Kitab Al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Laa Taqumus Sa’ah hatta Yakruju Kadzdzabun, Juz. 8, Hal. 156, No hadits. 2145. Katanya: Hasan Shahih).
Jadi, adanya orang-orang yang mengaku nabi merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya kiamat. Hal itu sudah sinyalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad silam. Namun selalu ada para ulama garda depan yang selalu siap mengcounter kebohongan mereka.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
“Mereka selalu ada pada masing-masing zaman, tetapi Allah Ta’ala binasakan mereka, dan Allah hilangkan pengaruhnya, hal itu juga terjadi pada sisa pengikut mereka.” (Imam An Nawawi, Syarah ‘Alash Shahih Muslim,Kitab Al Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar rajul biqabri ar rajul …Juz. 9, hal. 309, No. 5205)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berkata:
“Maksud hadits itu tidaklah berarti secara mutlak jumlahnya (mereka adalah tiga puluh), sebenarnya para nabi palsu ini tak terhitung jumlahnya, namun yang dimaksudkan dengan pembatasan jumlah itu adalah mereka itulah yang mengaku nabi, memiliki kekuatan dan ajaran menyimpang, dan punya pengikut yang banyak serta terkenal di antara manusia. Lalu Allah Ta’ala binasakan mereka temasuk pengikutnya, hingga akhirnya datangnya dajjal besar.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat an Nubuwah fil Islam, Juz. 10, hal. 410, No hadits. 3340)
Hadits lainnya, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi, ketika wafatnya seorang nabi maka datanglah nabi setelahnya, namun tidak ada nabi lagi setelahku.” (HR. Bukhari,Kitab Ahadits al Anbiya Bab Maa dziku ‘an Bani Israil, Juz. 11, Hal. 271, No hadits. 3196. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Wujub al Wafa’ bibai’ati al Khulafa’ wal Awal fal Awal, Juz.9, Hal. 378, No hadits. 3429 )
Ketika kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dengan wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu telah terputus dari langit.
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
Tidak tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi yang baik”. [R. Bukhari, kitab: Ta’bir, no:6990, dari Abu Hurairah]
Hadits ini dengan nyata menunjukkan bahwa wahyu tidak tersisa lagi setelah beliau wafat, karena adanya kenabian itu dengan wahyu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada Rasul dan tidak ada nabi setelah aku. Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat. Lalu beliau bersabda: “Kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi seorang muslim, hal itu satu bagian dari bagian-bagian kenabian”. [HR. Ahmad III/267; Tirmidzi no: 2272, dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Irwaul Ghalil no:2473 dan Shahih Al-Jami’ush Shaghir no:1631]
Dan hal itu adalah perkara yang telah maklum bagi para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana hadits di bawah ini:
Dari Anas, dia berkata: Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar: “Marilah kita pergi mengunjungi Ummu Aiman, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya”. Tatkala kami sampai kepadanya, Ummu Aiman menangis. Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang menjadikanmu menangis, sedangkan apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Kemudian Ummu Aiman menjawab: “Aku menangis, bukan karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit”. Maka Ummu Aiman menggerakkan Abu Bakar dan Umar untuk menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman. [HSR. Muslim, kitab: Fadhail ash-Shahabat]
Yang dimaksud wahyu di sini adalah arti secara istilah agama, bukan arti atau secara bahasa. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari (I/9): “Wahyu secara bahasa artinya memberitahukan secara rahasia/tersembunyi. Juga bisa berarti tulisan; sesuatu yang ditulis; mengutus; ilham; perintah; isyarat; dan menjadikan berbunyi sedikit demi sedikit. Juga dikatakan: asal artinya adalah memahamkan, dan apa saja yang engkau pakai untuk menjelaskan dinamakan wahyu, baik berupa: perkataan, tulisan, surat, atau isyarat. Sedangkan arti wahyu menurut istilah agama adalah: memberi-tahukan dengan agama”.
Ringkasnya bahwa wahyu menurut istilah agama adalah: pemberitahuan secara rahasia (bisikan) dari Allah kepada nabiNya, yang berupa syara’ (agama; peraturan; sesuatu yang harus diyakini beritanya dan ditaati perntahnya serta dijauhi larangannya), yang pasti kebenarannya.
Wahyu ini khusus diberikan oleh Allah kepada nabiNya, dan dengan wafatnya nabi dan rasul terakhir, nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terputuslah berita dari langit tersebut.
Sikap Menghadapi Nabi Palsu
1. Jika ajaran yang dibawanya diakui sebagai ajaran Islam, maka tidak ada kata lain harus ditolak secara nyata karena telah masuk dalam kategori penistaan agama yang dalam hal ini diatur dalam peraturan perundang-udangan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah hal yang dilarang. Mereka harus diproses secara hukum berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku, dan mewajibkannya untuk melakukan pertobatan hingga mereka sadar diri bahwa sesungguhnya apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan fatal.
2. Jika ajaran yang dibawanya tidak dinyatakan sebagai ajaran agama Islam tapi menyebarkan dan melakukan propaganda serta mengajak para penganut ajaran Islam untuk mengikutinya, pun juga harus diproses secara hukum karena bertentangan dengan ketentuan bahwa tidak dibenarkan berdasarkan undang-undang menyebarkan faham ajaran agama terhadap penganut ajaran agama lain.
3. Jika ajaran yang dibawanya tidak menyatakan sebagai ajaran agama Islam dan tidak pula melakukan gerakan dakwah terhadap penganut ajaran agama Islam termasuk ajaran agama lainnya yang ada di Indonesia maka berlakulah prinsip laakum diinukum waliyadien,
4. Seyogyanya sebagai seorang muslim agar dapat membentengi diri bersama dengan keluarga, masyarakat terutama para generasi muda agar mereka memiliki aqidah yang mantap serta sikap ketauhidan yang kuat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir sehingga iman mereka tidak mudah digoyahkan oleh propaganda, bujukan serta berbagai cara yang dilakukan orang lain untuk menyesatkan umat.
5. Masyarakat muslim harus terus waspada terhadap kemungkinan munculnya pengakuan nabi palsu yang dapat menggoyahkan iman para umat muslim, karena itu mestinya dilakukan pembinaan secara dini melalui pendidikan dan dakwah secara baik, nyata dan berkesinambungan melalui berbagai jalur pendidikan baik padapendidikan formal, non formal maupun jalur pendidikan informal dengan berupaya melibatkan segenap unsur masyarakat dan lembaga terkait secara terprogram, terstruktur dan berkualitas.
Peringatan:
Maka setelah kita mengetahui hal ini, masihkah kita tertipu dengan dakwaan para pendusta yang mengaku mendapat ilmu/ berita/ wahyu/ wangsit dari Allah. Seperti pengakuan Lia Aminuddin, atau para pendiri aliran kepercayaan, dan aliran-aliran sesat lainnya yang tersebar di nusantara ini. Wahai Allah tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq sehingga kami dapat mengikutinya. Dan tunjukkanlah kebatilan kepada kami sebagai kebatilan sehingga kami dapat menjauhinya. Amiin.
Rasul adalah manusia dari diri umat. Jika manusia dari tambang, maka Allah memperuntukan kepadanya pemberian rasio dan rohani agar dia siap menerima wahyu dari Allah SWT. Allah memperuntukan Rasul dengan memperoleh beberapa keistimewaan agar dia mampu memikul beban risalah dan menjadi teladan baik yang harus diikuti, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat. Seandainya para utusan Allah tidak memperoleh beberapa keistimewaan rasio dan rohani seperti kesucian mereka telah ternoda atau rasio mereka lemah, tentu mereka tidak mampu menyampaikan petunjuk Allah kepada manusia.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana semestinya kita menyikapi jika sekiranya pada zaman kita ada seorang yang mengaku sebagai nabi atau rasul, yang menyatakan diri sebagai penerima wahyu dan pembawa ajaran kebenaran lalu kemudian mengajarkan dan mendakwahkan ajaran-ajaran yang diterimanya hingga memiliki pengikut, penganut dan menjadi umatnya, maka pada saat sepertin ini seyogyanlah kita memiliki sebuah sikap yang kosnsisten sebagai sebuah jalan atau cara dalam menagkal berbagai fenomena yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan beragama kita sebagai penganut ajaran agama Islam.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah danpenutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33): 40)
Ayat ini secara sharih (jelas) menegaskan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah penutup para nabi alias nabi terakhir.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ قَالَ أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ عَنِ
ابْنِ دِينَارٍ يَعْنِي عَبْدَ اللَّهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا تِلْكَ اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيَانًا فَأَحْسَنَهُ وَأَجْمَلَهُ إِلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِنْ زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهُ فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ بِهِ وَيَعْجَبُونَ لَهُ وَيَقُولُونَ هَلَّا وُضِعَتْ هَذِهِ اللَّبِنَةُ قَالَ فَأَنَا تِلْكَ اللَّبِنَةُ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud berkata; telah mengabarkan kepada kami Isma’il dari Ibnu Dinar -yaitu Abdullah- dari Abu Shalih As Samman dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: \”Permisalanku dengan para Nabi sebelumku adalah seperti seorang laki-laki yang membuat bangunan, ia memperbagus dan memperindahnya kecuali satu bata pada salah satu sudut bangunan tersebut, maka manusia berkeliling dan merasa kagum, dan mereka berkata; ‘Sekiranya satu bata ini disempurnakan, ‘ beliau bersabda: \”Maka aku adalah satu bata tersebut, dan aku adalah penutup para Nabi.\” ( Bukhari, Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3271. Muslim, Kitab Al Fadhail Bab Dzikru Kaunuhu Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 404, No hadits. 4239, Imam Ahmad hadits no 8802)
Imam Ibnu Hajar berkata:
وَفِي الْحَدِيث ضَرْب الْأَمْثَال لِلتَّقْرِيبِ لِلْأَفْهَامِ وَفَضْل
النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سَائِر النَّبِيِّينَ ،
وَأَنَّ اللَّه خَتَمَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ ، وَأَكْمَلَ بِهِ شَرَائِع
الدِّين .
Hadits ini memberikan perumpamaan dalam rangka memudahkan pemahaman dan menunjukkan keutamaan Rasulullah Shallalalhu ‘Alaihi wa Sallam di atas nabi – nabi lainnya dan Allah ta’ala menutup kerasulan dengannya serta menyempurnakan syariatNya degannya pula.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari,Kitab Al Manaqib Bab Khatim an Nabiyyin, Juz. 11, Hal. 336, No hadits. 3270)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, setelah ia mengutarakan berbagai hadits tentang kedudukan Rasulullah sebagai penutup para nabi, beliau berkata:
وقد أخبر تعالى في كتابه، ورسوله في السنة المتواترة عنه: أنه لا نبي بعده؛
ليعلموا أن كل مَنِ ادعى هذا المقام بعده فهو كذاب أفاك، دجال ضال مضل،
ولو تخرق وشعبذ، وأتى بأنواع السحر والطلاسم والنَيرجيَّات ، فكلها محال
وضلال عند أولي الألباب
“Allah Ta’ala telah mengabarkan melalui KitabNya, begitu pula RasulNya telah menyampaikan secara mutawatir (pasti benar) darinya: bahwa tidak ada nabi setelahnya. Agar manusia mengetahui bahwa setiap manusia yang mengaku memiliki kedudukan sebagai nabi setelah beliau, maka orang itu adalah pendusta, dajjal yang sesat dan menyesatkan, walau dia memiliki kemampuan di luar kebiasaan dan mampu menipu penglihatan manusia, mendatangkan berbagai sihir dan kekuatan. Semuanya adalah tipuan dan kesesatan di mata Ulil Albab (orang-orang yang berpikir). “ (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz. 6, Hal. 431).
Hal di atas dijelaskan oleh Imamul Mufassirin, Abu Ja’far bin Jarir ath Thabari, beliau berkata:
واختلفت القراء في قراءة قوله(وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ) فقرأ ذلك قراء
الأمصار سوى الحسن وعاصم بكسر التاء من خاتم النبيين، بمعنى: أنه ختم
النبيين. ذُكر أن ذلك في قراءة عبد الله(وَلَكِنَّ نَبِيًّا خَتَمَ
النَّبيِّينَ) فذلك دليل على صحة قراءة من قرأه بكسر التاء، بمعنى: أنه
الذي ختم الأنبياء صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم وعليهم، وقرأ ذلك فيما
يذكر الحسن وعاصم(خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) بفتح التاء، بمعنى: أنه آخر
النبيين
Para Qurra (Ahli Pembaca Al Quran) berbeda pendapat tentang bacaan terhadap ayat Khaataman nabiyyin. Para Qurra dari Al Amshar (kota besar) kecuali Al Hasan dan ‘Ashim, mereka mengkasrahkan huruf ta’ menjadi(Khaatim an Nabiyyin) yang bermaknakhataman nabiyyin penutup para nabi (huruf kha’ pendek). Disebutkan bahwa itulah cara baca Abdullah bin Mas’ud (walakin nabiyyan khataman nabiyyin – tidak memanjangkan kha’ menjadi khaataman). Ini adalah dalil atas benarnya pihak yang membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, maknanya: “Bahwa dia adalah penutup para nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wa ‘Alaihim. Adapun yang membaca dengan memfathahkan (Khaatam an Nabiyyin) sebagaimana yang telah disebutkan yakni Al Hasan dan ‘Ashim, maknanya: “Bahwa dia adalah akhir dari nabi – nabi.” (Imam Abu Ja’far bi Jarir ath Thabari, Jami’ al Bayan fii Ta’wil Al Quran, Juz. 20, Hal. 279).
Imam Al Qurthubi berkata:
وقرأ الجمهور بكسر التاء بمعنى أنه ختمهم، أي جاء آخرهم.
“Mayoritas membaca dengan mengkasrahkan huruf ta’, bermakna bahwa dia adalah penutup mereka (para nabi) yaitu yang akhir datangnya di antara mereka.” (Imam Al Qurthubi,Jami’ Li Ahkam Al Quran, Juz. 14, Hal. 196. Dar Ihya ats Turats al ‘Araby, Beirut – Libanon. 1985M-1405H).
Imam Abu Muhammad Al Husein bin Mas’ud al Baghawi berkata dalam tafsirnya:
ختم الله به النبوة، وقرأ عاصم: “خاتم” بفتح التاء على الاسم، أي: آخرهم،
وقرأ الآخرون بكسر التاء على الفاعل، لأنه ختم به النبيين فهو خاتمهم.
“Dengannya Allah telah menutup kenabian. ‘Ashim membacanya ‘Khaatam’ dengan fathah pada huruf ta’menjadi isim, yakni, “Akhirnya mereka (nabi-nabi).” Sedangkan yang lain membaca dengan mengkasrahkan ta’ menjadi faa’il, karena dengannyalah menutup para nabi, dan dia penutup mereka.” (Imam al Baghawi, Ma’alimut Tanzil, Juz. 6 Hal. 358).
Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar asy Syihi biasa disebut Al Khazin berkata dalam tafsirnya:
ختم الله به النبوة فلا نبوة بعده أي ولا معه
“Dengannya Allah telah menutup kenabian, maka tidak ada kenabian setelahnya, yaitu tidak pula bersamanya.” (Imam al Khazin, Lubab at Ta’wil fii Ma’ani at Tanzil, Juz. 5, Hal. 199).
Kemunculan nabi-nabi palsu di muka bumi ini sesungguhnya merupakan salah satu tanda dari sekian tanda hari kiamat. Di antara mereka, ada yang sekadar mengaku-ngaku. Namun ada pula yang “mendakwahkan” ajarannya sehingga punya banyak pengikut.
Kemunculan para Nabi palsu adalah salah satu tanda akan bangkitnya hari kiamat sekaligus tanda kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad bin Abdillah. Di mana apa yang beliau beritakan akan kemunculan mereka benar sesuai kenyataan yang ada, karena beliau berucap dari wahyu bukan dari hawa nafsu dan kedustaan. Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُبْعَثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبًا مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللهِ
“Tidaklah hari kiamat bangkit sehingga dibangkitkan para (Dajjal) pendusta, pembohong, mendekati 30 orang. Masing-masing mengaku bahwa dirinya adalah Rasulullah.” (Shahih, Al-Bukhari Kitabul Manaqib, Bab ‘Alamatun Nubuwwah fil Islam, Muslim Kitabul Fitan Wa Asyrathus Sa’ah, Bab La Taqumus Sa’ah Hatta Yamurra Ar-Rajul bi Qabri Ar-Rajul… no. 3413)
Dari Tsauban, ia berkata Rasulullah bersabda:
وَلَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتـِي
بِالْـمُشْرِكِينَ وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ
وَإِنَّهُ سَيَكُونُ في أُمَّتِي كَذَّابُونَ ثَلَاثُونَ كُلُّهُمْ
يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لَا نَبِيَّ
بَعْدِي
“Tidak akan bangkit hari kiamat sehingga beberapa qabilah dari umatku bergabung dengan musyrikin dan sehingga beberapa qabilah dari umatku menyembah berhala-berhala, dan sesungguhnya akan muncul pada umatku para pendusta berjumlah 30 masing-masing mereka mengaku nabi dan akulah penutup para nabi tiada nabi sesudahku.” (HR. Abu Daud, Kitab Al Fitan wal Malahim Bab Dzikru Al Fitan wa Dalailuha, Juz. 11, Hal. 322, No hadits. 3710. At Tirmidzi, Kitab Al Fitan ‘an Rasulillah Bab Maa Ja’a Laa Taqumus Sa’ah hatta Yakruju Kadzdzabun, Juz. 8, Hal. 156, No hadits. 2145. Katanya: Hasan Shahih).
Jadi, adanya orang-orang yang mengaku nabi merupakan bagian dari tanda-tanda datangnya kiamat. Hal itu sudah sinyalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sejak empat belas abad silam. Namun selalu ada para ulama garda depan yang selalu siap mengcounter kebohongan mereka.
Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
وَقَدْ وُجِدَ مِنْ هَؤُلَاءِ خَلْق كَثِيرُونَ فِي الْأَعْصَار ،
وَأَهْلَكَهُمْ اللَّه تَعَالَى ، وَقَلَعَ آثَارهمْ ، وَكَذَلِكَ يُفْعَل
بِمَنْ بَقِيَ مِنْهُمْ .
“Mereka selalu ada pada masing-masing zaman, tetapi Allah Ta’ala binasakan mereka, dan Allah hilangkan pengaruhnya, hal itu juga terjadi pada sisa pengikut mereka.” (Imam An Nawawi, Syarah ‘Alash Shahih Muslim,Kitab Al Fitan wal Asyratus Sa’ah Bab Laa taquumus Sa’ah hatta yamurru ar rajul biqabri ar rajul …Juz. 9, hal. 309, No. 5205)
Imam Ibnu Hajar al Asqalani Rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ الْمُرَاد بِالْحَدِيثِ مَنْ اِدَّعَى النُّبُوَّة مُطْلَقًا
فَإِنَّهُمْ لَا يُحْصَوْنَ كَثْرَة لِكَوْنِ غَالِبهمْ يَنْشَأ لَهُمْ
ذَلِكَ عَنْ جُنُون أَوْ سَوْدَاء وَإِنَّمَا الْمُرَاد مَنْ قَامَتْ لَهُ
شَوْكَة وَبَدَتْ لَهُ شُبْهَة كَمَنْ وَصَفْنَا ، وَقَدْ أَهْلَكَ اللَّه
تَعَالَى مَنْ وَقَعَ لَهُ ذَلِكَ مِنْهُمْ وَبَقِيَ مِنْهُمْ مَنْ
يُلْحِقهُ بِأَصْحَابِهِ وَآخِرهمْ الدَّجَّال الْأَكْبَر
“Maksud hadits itu tidaklah berarti secara mutlak jumlahnya (mereka adalah tiga puluh), sebenarnya para nabi palsu ini tak terhitung jumlahnya, namun yang dimaksudkan dengan pembatasan jumlah itu adalah mereka itulah yang mengaku nabi, memiliki kekuatan dan ajaran menyimpang, dan punya pengikut yang banyak serta terkenal di antara manusia. Lalu Allah Ta’ala binasakan mereka temasuk pengikutnya, hingga akhirnya datangnya dajjal besar.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Kitab Al Manaqib Bab ‘Alamat an Nubuwah fil Islam, Juz. 10, hal. 410, No hadits. 3340)
Hadits lainnya, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي
“Dahulu Bani Israel dipimpin oleh para nabi, ketika wafatnya seorang nabi maka datanglah nabi setelahnya, namun tidak ada nabi lagi setelahku.” (HR. Bukhari,Kitab Ahadits al Anbiya Bab Maa dziku ‘an Bani Israil, Juz. 11, Hal. 271, No hadits. 3196. Muslim, Kitab Al Imarah Bab Wujub al Wafa’ bibai’ati al Khulafa’ wal Awal fal Awal, Juz.9, Hal. 378, No hadits. 3429 )
Ketika kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dengan wafatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, wahyu telah terputus dari langit.
Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
لَمْ يَبْقَ مِنَ النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
Tidak tersisa dari kenabian kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi yang baik”. [R. Bukhari, kitab: Ta’bir, no:6990, dari Abu Hurairah]
Hadits ini dengan nyata menunjukkan bahwa wahyu tidak tersisa lagi setelah beliau wafat, karena adanya kenabian itu dengan wahyu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدِ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي
وَلَا نَبِيَّ قَالَ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ لَكِنِ
الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ
رُؤْيَا الْمُسْلِمِ وَهِيَ جُزْءٌ مِنْ أَجْزَاءِ النُّبُوَّةِ
Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus, maka tidak ada Rasul dan tidak ada nabi setelah aku. Maka hal itu terasa berat bagi para sahabat. Lalu beliau bersabda: “Kecuali al-mubasysyirat (perkara-perkara yang memberikan berita gembira). Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah al-mubasysyirat itu?”, beliau menjawab: “Mimpi seorang muslim, hal itu satu bagian dari bagian-bagian kenabian”. [HR. Ahmad III/267; Tirmidzi no: 2272, dan Al-Hakim, dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Irwaul Ghalil no:2473 dan Shahih Al-Jami’ush Shaghir no:1631]
Dan hal itu adalah perkara yang telah maklum bagi para sahabat Radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ وَفَاةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ انْطَلِقْ
بِنَا إِلَى أُمِّ أَيْمَنَ نَزُورُهَا كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَيْهَا
بَكَتْ فَقَالَا لَهَا مَا يُبْكِيكِ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ
لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا أَبْكِي أَنْ
لَا أَكُونَ أَعْلَمُ أَنَّ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِرَسُولِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَكِنْ أَبْكِي أَنَّ الْوَحْيَ قَدِ
انْقَطَعَ مِنَ السَّمَاءِ فَهَيَّجَتْهُمَا عَلَى الْبُكَاءِ فَجَعَلَا
يَبْكِيَانِ مَعَهَا
Dari Anas, dia berkata: Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar: “Marilah kita pergi mengunjungi Ummu Aiman, sebagaimana dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya”. Tatkala kami sampai kepadanya, Ummu Aiman menangis. Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang menjadikanmu menangis, sedangkan apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Kemudian Ummu Aiman menjawab: “Aku menangis, bukan karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit”. Maka Ummu Aiman menggerakkan Abu Bakar dan Umar untuk menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman. [HSR. Muslim, kitab: Fadhail ash-Shahabat]
Yang dimaksud wahyu di sini adalah arti secara istilah agama, bukan arti atau secara bahasa. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari (I/9): “Wahyu secara bahasa artinya memberitahukan secara rahasia/tersembunyi. Juga bisa berarti tulisan; sesuatu yang ditulis; mengutus; ilham; perintah; isyarat; dan menjadikan berbunyi sedikit demi sedikit. Juga dikatakan: asal artinya adalah memahamkan, dan apa saja yang engkau pakai untuk menjelaskan dinamakan wahyu, baik berupa: perkataan, tulisan, surat, atau isyarat. Sedangkan arti wahyu menurut istilah agama adalah: memberi-tahukan dengan agama”.
Ringkasnya bahwa wahyu menurut istilah agama adalah: pemberitahuan secara rahasia (bisikan) dari Allah kepada nabiNya, yang berupa syara’ (agama; peraturan; sesuatu yang harus diyakini beritanya dan ditaati perntahnya serta dijauhi larangannya), yang pasti kebenarannya.
Wahyu ini khusus diberikan oleh Allah kepada nabiNya, dan dengan wafatnya nabi dan rasul terakhir, nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terputuslah berita dari langit tersebut.
Sikap Menghadapi Nabi Palsu
1. Jika ajaran yang dibawanya diakui sebagai ajaran Islam, maka tidak ada kata lain harus ditolak secara nyata karena telah masuk dalam kategori penistaan agama yang dalam hal ini diatur dalam peraturan perundang-udangan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah hal yang dilarang. Mereka harus diproses secara hukum berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku, dan mewajibkannya untuk melakukan pertobatan hingga mereka sadar diri bahwa sesungguhnya apa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan fatal.
2. Jika ajaran yang dibawanya tidak dinyatakan sebagai ajaran agama Islam tapi menyebarkan dan melakukan propaganda serta mengajak para penganut ajaran Islam untuk mengikutinya, pun juga harus diproses secara hukum karena bertentangan dengan ketentuan bahwa tidak dibenarkan berdasarkan undang-undang menyebarkan faham ajaran agama terhadap penganut ajaran agama lain.
3. Jika ajaran yang dibawanya tidak menyatakan sebagai ajaran agama Islam dan tidak pula melakukan gerakan dakwah terhadap penganut ajaran agama Islam termasuk ajaran agama lainnya yang ada di Indonesia maka berlakulah prinsip laakum diinukum waliyadien,
4. Seyogyanya sebagai seorang muslim agar dapat membentengi diri bersama dengan keluarga, masyarakat terutama para generasi muda agar mereka memiliki aqidah yang mantap serta sikap ketauhidan yang kuat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir sehingga iman mereka tidak mudah digoyahkan oleh propaganda, bujukan serta berbagai cara yang dilakukan orang lain untuk menyesatkan umat.
5. Masyarakat muslim harus terus waspada terhadap kemungkinan munculnya pengakuan nabi palsu yang dapat menggoyahkan iman para umat muslim, karena itu mestinya dilakukan pembinaan secara dini melalui pendidikan dan dakwah secara baik, nyata dan berkesinambungan melalui berbagai jalur pendidikan baik padapendidikan formal, non formal maupun jalur pendidikan informal dengan berupaya melibatkan segenap unsur masyarakat dan lembaga terkait secara terprogram, terstruktur dan berkualitas.
Peringatan:
Maka setelah kita mengetahui hal ini, masihkah kita tertipu dengan dakwaan para pendusta yang mengaku mendapat ilmu/ berita/ wahyu/ wangsit dari Allah. Seperti pengakuan Lia Aminuddin, atau para pendiri aliran kepercayaan, dan aliran-aliran sesat lainnya yang tersebar di nusantara ini. Wahai Allah tunjukkanlah al-haq kepada kami sebagai al-haq sehingga kami dapat mengikutinya. Dan tunjukkanlah kebatilan kepada kami sebagai kebatilan sehingga kami dapat menjauhinya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar