Hari
ini perbudakan sudah dihapus. Sedangkan domestic servant (pembantu
rumah tangga) termasuk dalam kategori pekerjaan/profesi dan bukanlah
budak. Mengangkat pembantu dibolehkan dalam Islam. Anas bin Malik
berkata: “Aku pernah menjadi
pelayan Rosululloh saw selama sepuluh tahun. Tidak pernah sama sekali
beliau mengucapkan ‘hus’ kepadaku. Beliau tidak pernah membentakku
terhadap sesuatu yang kukerjakan (dengan ucapan) ‘Mengapa engkau
kerjakan begini.’ Dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak kukerjakan
(dengan ucapan) ‘Mengapa tidak engkau kerjakan.’ (HR Muslim). Ali bin Abi Thalib semasa mudanya pun pernah bekerja menjadi pembantu perempuan Yahudi. Ali berkata: “Saya
bekerja untuk seorang perempuan Yahudi dengan upah setiap timba air
ditukar dengan sebutir kurma. Kemudian saya menceritakan hal itu kepada
Rosululloh dan saya bawakan beberapa butir kurma lalu beliau pun memakan
sebagian kurma tersebut bersama saya.” (HR Bukhari).
Di zaman ini
dimana perbudakan sudah tidak ada lagi, memperlakukan pembantu sebagai
budak dengan menyetubuhinya adalah zina yang diancam dengan hukum rajam
(mati). Maraknya kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja wanita di Arab
Saudi, menunjukkan pemahaman keislaman yang rendah dari sebagian orang
Arab Saudi. Arab Saudi baru menghapus perbudakan pada tahun 1960-an,
sehingga ketika ada ledakan tenaga kerja wanita, muncul semacam
‘kerinduan’ untuk kembali ke masa lalu. Hal ini juga disebabkan
penerapan hukum Islam yang tidak menyeluruh, pemerintahan Arab Saudi
membolehkan wanita muda (para tenaga kerja wanita) meninggalkan suami
bertahun-tahun dan hidup (di negara lain) dalam rumah yang tertutup
dengan majikannya.
Nashiruddin
Al-Albani menyatakan bahwa hari ini perbudakan sudah dihapus sehingga
tidak boleh melakukan perbudakan secara individu. Perbudakan dalam Islam
hanya ada melalui perang membela Islam, itu pun dengan persetujuan
Imam/Khalifah (Fatwa-Fatwa Albani, Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Pustaka At-Tauhid).
Sebagian
kalangan hari ini ada yang berpendapat bahwa perbudakan suatu saat dapat
dihidupkan kembali. Seandainya suatu ketika, terjadi perang dunia yang
melumat semua kehidupan dunia. Lalu pasca perang itu peradaban umat
manusia hancur lebur, maka umat manusia yang jahiliyah kembali jatuh ke
jurang perbudakan manusia. Saat itu terjadi, agama Islam masih mempunyai
hukum-hukum suci yang mengatur masalah perbudakan.
Mereka
mengacu pada fenomena kaum wanita yang selalu menjadi korban kebuasan
perang, seperti kasus pemerkosaan ribuan wanita Islam di Bosnia,
Kashmir, Afghanistan, dan Irak. Sehingga pasukan Islam dapat melakukan
hal yang sama terhadap wanita kafir yang menjadi tawanan perang dengan
memperbudaknya (jika diizinkan oleh Khalifah Islam).
Ada pula yang mengacu pada Hadits Jibril yang panjang bahwa Rasulullah saw bersabda: “Dan akan saya beritahukan kepadamu tanda-tanda Hari Kiamat itu ialah apabila budak wanita melahirkan tuannya, …”
(HR Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadits ini, mereka berpendapat
bahwa menjelang Kiamat nanti akan ada budak wanita yang melahirkan
tuannya sehingga itu menandakan di saat menjelang Kiamat akan ada budak
dan perbudakan.
Namun para ulama Hadits sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan hadits ini.
Al-Khatabi berpendapat: “Maknanya
ialah Islam akan meluas hingga dapat menguasai negara-negara musyrik
dan menawan anak cucu mereka. Apabila seseorang dapat memiliki Jariyah
(budak wanita), lantas budak tersebut melahirkan anak hasil hubungan
dengannya. Maka anak tersebut berkedudukan sebagai tuannya yang
merdeka.” (Ma’alim As-Sunan ‘Ala Mukhtashar Sunan Abu Daud 7: 67).
Ibnu Hajar
berpendapat: “Maknanya ialah akan banyak anak yang durhaka yang
memperlakukan ibunya seperti sikap tuan terhadap budaknya, seperti
merendahkannya, mencacinya, memukulnya, dan memperkerjakannya sebagai
pelayan untuk dirinya. Jadi pemakaian kata-kata Rabb (tuan) di sini
adalah majazi. Atau boleh jadi yang dimaksud dengan rabb di sini adalah
mu-rabbi-nya (pendidik dan pembimbingnya). Kiamat itu sudah dekat
apabila keadaan sudah berbalik dimana seseorang yang semestinya
dibimbing malah membimbing dan orang-orang rendahan malah menempati
posisi yang tinggi (terhormat). Ini sesuai pula dengan sabda Nabi saw
(yang diriwayatkan Muslim) mengenai tanda Kiamat yang lain di mana orang
yang dahulunya berkaki telanjang (karena miskinnya) malah menjadi
penguasa.” (Fathul Bari 1: 122-123).
Kalaupun
pendapat Al-Khatabi benar, maka sesungguhnya hal itu sudah terjadi,
contohnya Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang merupakan anak
budak (Ummul Walad) hasil hubungan Khalifah Harun Al Rasyid dengan salah
seorang budak perempuannya.
Hadits
Jibril tersebut menceritakan Tanda-Tanda Kecil Kiamat. Tanda-tanda ini
terjadi mendahului Huru Hara Besar Akhir Zaman yang merupakan
Tanda-Tanda Besar Kiamat. Tanda-Tanda Kecil Kiamat muncul dalam masa
yang cukup panjang dan merupakan berbagai kejadian yang sering dianggap
biasa terjadi. Muhammad Siddiq Hassan Khan mengatakan bahwa kiamat itu
telah dekat dan seluruh Tanda-Tanda Kecil Kiamat telah muncul (seperti
munculnya orang-orang yang mengaku Nabi -HR Bukhari, banyaknya gempa
bumi -HR Bukhari, umat Islam diperebutkan umat lain -HR Ahmad, dan
seterusnya), sehingga umat Islam tinggal menunggu Tanda-Tanda Besar
Kiamat (seperti kemunculan Dajjal -HR Bukhari, munculnya Al Mahdi -HR
Ibn Majah, turunnya Al Masih -HR Muslim, serta keluarnya Ya’juj dan
Ma’juj -surat Al Anbiya 96-97). [Peristiwa-Peristiwa Dahsyat Akhir
Zaman. Sa’id Abdul Azhim. Solo: Al Qowam, 2004. hal. 55].
Sehingga
berdalil dengan Hadits Jibril tersebut bahwa perbudakan akan muncul
lagi, tidaklah tepat. Karena budak wanita yang melahirkan tuannya sudah
terjadi.
Oleh karena
itu umat Islam sudah tidak perlu lagi menghidupkan perbudakan walaupun
suatu saat nanti Khilafah Islamiyah berdiri kembali. Karena saat
perbudakan masih merajalela, Islam telah mengajarkan untuk memuliakan
dan membebaskan budak, sehingga ketika hari ini perbudakan sudah tidak
ada lagi maka akan menjadi bertentangan dengan ajaran Islam jika ada
orang Islam yang hendak menghidupkan kembali perbudakan.
Membalas
perlakuan musuh Islam dengan memperbudak tawanan perang adalah hak
Khalifah, sebagaimana Khalifah pun berhak untuk tidak menjalankan
perbudakan karena tidak ada satu pun ayat Al Quran yang menyuruh untuk
memperbudak.
Dalam hal
ini para Khalifah dapat mencontoh Khalifah Umar bin Khattab yang
melarang para sahabat menikah dengan perempuan Ahlul Kitab walaupun hal
itu dibolehkan Al Quran (Al Maa’idah: 5). Umar khawatir bahwa hal
tersebut dapat menghambat mereka menikahi perempuan-perempuan Islam. (Al
Majmu Syarah Al Muhadzdzab, Juz IX). Al Qurthubi juga meriwayatkan
bahwa Khalifah Umar bin Khattab meniadakan hukuman potong tangan bagi
pencuri jika penyebab pencurian adalah keadaan darurat dan menjaga
nyawa, yaitu ketika musim kelaparan melanda tanah Arab di masa paceklik.
Karena itulah Khalifah yang akan berdiri kelak, berhak untuk tidak
menghidupkan lagi perbudakan.
Abbas Mahmud
Al Aqqad dalam ‘Haqa’iqul Islam Wa Abathilu Khushumihi’ mengatakan
bahwa perbudakan telah dilarang, yang diperbolehkan saat ini hanyalah
cara memperlakukan tawanan perang, yaitu boleh diperkerjakan selama
masih dalam masa perang.
Tidak
menghidupkan kembali perbudakan bukan berarti menjadikan ayat-ayat Al
Quran yang berbicara tentang perbudakan menjadi ‘out of date’ atau
ketinggalan zaman.
Ayat Al
Quran pun banyak berbicara tentang kemiskinan, seperti surat At Taubah
ayat 60 yang mengalokasikan zakat untuk orang miskin. Namun ayat ini
tidak berarti kemiskinan tidak boleh dihapuskan. Sehingga adanya ayat Al
Quran tentang perbudakan, juga tidak bisa menjadi alasan untuk melarang
penghapusan perbudakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar