Perang Shiffin (Arab: وقعة صفين ) (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa
zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan
pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini
terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin
Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak diSyria (Syam) pada 1
Shafar tahun 37 Hijriah.
Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua
kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok
itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin,
-pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari,
Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu
Hurairah)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana
diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali bersama barisannya dari
penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan bersama barisannya
dari penduduk Syam.
1- Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah
satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat
para sahabat masih hidup).
2- Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di
tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang
antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Sayidina Ali bin Abi
Thalib dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin
Abi Sufyan, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin
yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan
dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara
Shiffin. Semoga Alloh merahmati mereka.
Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimunculkan pula dari
sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum
muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela
generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi
Thalib dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali
dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali
dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah
pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana
Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?
Sejarah fitnah dari kaum Munafik terhadap Kholifah
Ketika terjadi fitnah pada pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra., Abdulah
bin Saba’ (seorang yahudi yang pura-pura masuk islam) dan kaumnya
mendatangi Ali bin Abi Thalib ra. dan kemudian memprovokasinya untuk
menggantikan Utsman bin Affan ra. Namun Ali bin Abi Thalib ra. menolak
provokasi tersebut bahkan kemudian membunuh sebagian pengikut
Abdullah bin Saba’ namun Abdullah bin Saba’ sendiri berhasil melarikan ke Mesir.
Ketika berada di Mesir dia bertemu dengan beberapa kaum munafiquun untuk
merencanakan suatu makar yang hebat. Kemudian dengan pengaruhnya,
Abdullah bin Saba’ berhasil membuat opini tentang keburukan pemerintahan
Utsman bin Affan ra di Madinah. sehingga beberapa orang kaum muslimin
terpengaruh oleh cerita yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’
tersebut.
Setelah dirasakan banyak kaum muslimin yang terpengaruh olehnya maka
Abdullah bin Saba’ berangkat ke madinah beserta rombongannya menuju
Madinah. Sesampainya di Madinah Abdullah bin Saba’ dan rombongannya
membuat fitnah yang besar terhadap Khalifah Utsman bin Affan.
Saking hebatnya fitnah itu karena juga disebarkan oleh rombongan
Abdullah bin Saba’ yang besar jumlahnya maka sebagian sahabat
radhiyallahu ‘anhum terpengaruh oleh ucapan kaum munafiquun tersebut
sampai – sampai putra Khalifah pertama yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar
Ash Shiddiq mendatangi Khalifah Utsman bin Affan ra. dengan marah dan
menarik jenggotnya.
Dan pada puncaknya kaum munafiquun dan sebagian kaum muslimin yang baik
yang terprovokasi oleh ucapan Abdullah bin Saba’ dan pengikutnya
mengepung rumah Khalifah Utsman bin Affan ra. kemudian membunuhnya.
Setelah meninggalnya Sayidina Utsman bin Affan ra. maka kaum munafiquun
dan sebagian sahabat serta kaum muslimin yang lain membai’at Ali bin
Abi Thalib ra. sebagai Khalifah berikut. Kemudian munculah fitnah yang
menyebabkan sahabat terpecah belah yaitu tentang hukuman bagi para
pembunuh Sayidina Utsman bin Affan ra.
Sahabat radhiyallahu’anhum terpecah menjadi 2 kubu yaitu kubu Ali bin
Abi Thalib ra. dan kubu ‘Aisyah ra., Mu’awiyyah ra., Thalhah ra., Zubair
ra dan lainnya.
Kubu ‘Aisyah ra dan sahabat lainnya menuntut disegerakannya hukuman
qishas bagi pembunuh Utsman bin Affan ra. Namun Khalifah Ali bin Abi
Thalib ra. menundanya karena 2 ijtihad, pertama negara dalam keadaan
kacau sehingga perlu ditertibkan dahulu dan yang kedua pembunuh Sayidina
Utsman bin Affan ra. sebagian adalah munafiquun dan sebagian lagi kaum
muslimin yang baik yang termakan provokasi, maka Ali bin Abi Thalib ra.
membutuhkan kepastiannya.
Namun ‘Aisyiah ra., Thalhah ra., Zubair ra., dan sahabat nabi yang lain tetap
pada ijtihadnya yaitu menuntut Ali bin Abi Thalib ra untuk menyegerakan
hukuman qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra.
Akhirnya setelah masing – masing sahabat Nabi tersebut membawa pasukan
dan siap untuk berperang, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib ra. sepakat
dengan pihak ‘Aisyah ra. dan menyetujui untuk menyegerakan hukuman
qishas terhadap para pembunuh Utsman bin Affan ra. Rupanya kesepakatan
Ali dengan kubu ‘Aisyah ra. membuat gerah kaum munafiquun yang dipimpin
oleh Abdullah bi Saba’
Pada malam harinya (Perang Jamal berlangsung pada malam hari) kaum
munafiquun menyusup ke barisan sahabat Thalhah ra. dan Zubair ra. dan
melakukan penyerangan mendadak. Karena merasa diserang maka kubu Thalhah
ra. dan Zubair ra. Balas menyerang ke pasukan Ali bin Abi Thalib ra dan
perang besar pun tak terhindarkan. Perang ini disebut Perang Jamal dan
berakhir dengan kemenangan Ali bin Abi Thalib ra. dan meninggalnya 2
orang sahabat yang dijamin masuk surga yaitu Thalhah ra. dan Zubair ra.
Sahabat Mu’awiyyah ra. yang pada waktu itu masih menjadi Gubernur di
Damaskus menggerakan pasukannya menuju Madinah dengan tuntutan yang sama
yaitu menyegerakan mengqishas pembunuh Utsman bin Affan ra.
Karena keadaan yang semakin kacau Ali bin Abi Thalib ra. tidak dapat memenuhi
tuntutan tersebut lalu terjadilah perang yang berikutnya yang dikenal dengan
nama Perang Shiffin yang berakhir dengan gencatan senjata meskipun pada
waktu itu Ali bin Abi Thalib ra. hampir memenangkan pertempuran
tersebut. Lalu Mu’awiyyah ra. kembali ke Damaskus dan tetap menolak
membaiat Ali bin Abi Thalib ra. sebagai Khalifah (Lalu sebagian kaum
muslimin membai’at Muawiyyah ra. sebagai Amirul Mukminin)
Dan pada itu negara Islam terbagi 2 yaitu Ali bin Abi Thalib ra di
Madinah dan Mua’wiyyah ra. di Damaskus. Pada kondisi tersebut ada
sebagian kecil kaum muslimin yang tidak puas kepada keduanya, dan kaum
muslimin yang tidak puas kepada Ali ra. dan Mu’awiyyah ra. mereka
membentuk firqah baru (inilah firqah pertama dalam Islam, disusul Syiah,
Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyyah, Qadariyyah, Jabariyyah dan lain
sebagainya) yang disebut sebagai Khawarij dan mereka mengkafirkan kedua
sahabat nabi tersebut.
Lalu kaum Khawarij mengutus pembunuh kepada keduanya, namun qadarullah
hanya Ali bin Abi Thalib ra yang terbunuh, sedangkan percobaan
pembunuhan terhadap Mu’awiyyah ra. dapat digagalkan.
Kaedah Penting tentang Perselisihan para Sahabat
Disini terdipat tiga hal yang telah disepakati oleh ahlu ilmi dan ahlu
tahqiq dari kalangan Ahlussunnah yang mengcounter usaha pemutarbalikan
fakta yang dilakukan oleh orang-orang sesat tentang perpecahan yang
terjadi di zaman zahabat tentang khilafah Ali,
Pertama, Perselisihan yang terjadi antara mereka bukanlah dalam hal
khilafah, tidak ada seorangpun diantara orang yang berbeda pendapat
dengan Ali menyerang otoritas kekhilafahannya dan bahkan tak seorang pun
mengklaim dirinya lebih berhak menyandang khilafah daripada Ali.
Kedua, Perbedaan mereka hanyalah pada apakah mengqishah para pembunuh
Utsman itu disegerakan atau ditunda terlebih dahulu, namun mereka semua
sepakat bahwa hal itu harus ditunaikan.
Ketiga, Meskipun mereka berselisih, tak seorangpun diantara mereka
mencela kualitas keagamaan masing-masing dari mereka. Setiap pihak
melihat dirinya sebagai seorang mujtahid dengan mengakui keutamaan
masing-masing dalam agama Islam dan persahabatan dengan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Ketiga poin ini diindikasikan oleh riwayat-riwayat yang shahih.
Diantaranya riwayat yang menjelaskan hakikat perbedaan antara sahabat
yang melepaskan mereka dari tuduhan orang Syiah dan zindik.
Ketiga poin ini merupakan perkara yang paling penting untuk membantah
orang Syiah dan zindiq tersebut. Seorang penuntut ilmu syar’i hendaknya
mempelajari hal ini beserta dalil-dalilnya. Kepada pembaca kami paparkan
dalil-dalil tentang itu,
Kaedah Pertama, perselisihan yang terjadi antara mereka tidak terkait
dengan khilafah, tak seorang pun diantara orang yang menyelisihi Ali
ingin merebut kekhilfahan itu, bahkan tidak ada yang mengklaim bahwa
dirinya lebih mulia dari Ali.
Dalil terkuatnya adalah persetujuan semua sahabat untuk membaiat Ali
radhiyallahu anhusetelah terbunuhnya Utsman, yang diantara mereka ada
Thalhah dan Zubair. Dalil tentang itu merupakan dalil yang shahih.
Diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tarikhnya
dari Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Ali bin Abu Thalib), ia berkata,
“Dulu saya bersama ayahku ketika Utsman dibunuh, ia berdiri dan masuk ke
dalam rumahnya. Beliau juga didatangi oleh para sahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, mereka berkata, ‘Sesungguhnya beliau
(Utsman) ini telah dibunuh dan manusia butuh seorang Imam, dan kami
tidak mendapati seorangpun yang lebih berhak memegang jabatan ini, tidak
ada yang lebih dahulu dari as-sabiqun al-awwalun dan tidak ada yang
lebih dekat dari Rasulullah kecuali engkau’, beliau menjawab, ‘Jangan
kalian lakukan itu, saya menjadi wazir lebih baik daripada saya menjadi
amir’ mereka balik menanggapi, ‘Tidak, Demi Allah, kami tidak akan
lakukan itu hingga kami membaiatmu’, Ali kembali menjawab, ‘Kalau begitu
di Masjid. Jangan sampai baiatku ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi
dan tidak boleh juga terjadi kecuali atas keridhaan kaum Muslimin’.
Salim bin al-Ja’d berkata, Abdullah bin Abbas berkata, ‘Saya tidak
menyukai bila ia mendatangi Masjid, khawatir orang berbuat kerusuhan dan
menentangnya, namun ia enggan kecuali dilakukan di Masjid, ketika ia
masuk, seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar juga masuk dan kemudian
membaiatnya. Melihat itu manusia yang lain turut membaiatnya’.”
Dari Abu Basyir al-Ba’idi, ia berkata, “Ketika Utsman dibunuh saya
berada di Madinah. Para sahabat dari golongan Muhajirin dan Anshar
termasuk Thalhah dan Zubair mendatangi Ali. Mereka berkata, ‘Wahai Abul
Hasan, kemarilah kami baiat Anda’, ia menjawab, ‘Saya tidak menginginkan
itu untuk mengurus kalian, tapi saya sama dengan kalian. Siapa yang
kalian pilih saya ridha dengannya, demi Allah, pilihlah’ mereka balik
menjawab, ‘Kami tidak akan memilih selainmu’.”
Riwayat tentang ini sangatlah banyak. Sebagiannya dinukil oleh Ibnu
Jarir dalam tarikhnya. Semua itu menunjukkan baiat sahabat terhadap Ali
radhiyallahu anhu dan kesepakatan mereka termasuk Thalhah dan Zubair
untuk membaiatnya sebagaimana yang terdapat pada riwayat-riwayat tadi
secara gamblang.
Adapun riwayat yang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair membaiat mereka
secara terpaksa, tidak diragukan lagi bahwa ini tidaklah shahih. Riwayat
yang shahih justru sebaliknya.
At-Thabari meriwayatkan dari Auf bin Abi Jamilah, ia berkata, “Saya
bersaksi bahwa saya mendengar Muhammad bin Sirin berkata, sesungguhnya
Ali mendatangi Thalhah dan berkata ‘Julurkanlah tanganmu wahai Thalhah,
saya akan membaiatmu’ Thalhah menjawab, ‘Anda lebih berhak, Andalah
amirul mukminin, julurkanlah tangan Anda’ Ali menjulurkan tangannya
kemudian dibaiat oleh Thalhah”
Dari Abdu Khair bin al-Khaiwani ia menghadap Abu Musa, ia berkata,
“Wahai Abu Musa, apakah dua orang ini –Thalhah dan Zubair- termasuk
orang yang membaiat Ali?, ia menjawab, ‘Iya’."
Sebagaimana dalil ini menegaskan batilnya apa yang diklaim tentang
keterpaksaan mereka berdua membaiat Ali, Imam al-Muhaqqiq, Ibnul Arabi
menyebutkan bahwa ini juga tidak pantas bagi mereka berdua, tidak juga
pantas bagi Ali, beliau berkata,
“Jika dikatakan bahwa mereka berdua –Thalhah dan Zubair- berbaiat secara
terpaksa kami katakan, Demi Allah! Sungguh tidak mungkin Ali memaksa
mereka berdua, mereka berbuat sesuai dengan apa yang mereka inginkan,
jika seandainya mereka berdua terpaksa maka itupun tak berpengaruh.
Karena dengan adanya satu atau dua orang yang membaiat sudah cukup dan
siapa yang berbaiat setelah itu wajib mengikuti yang pertama, meskipun
pada waktu itu dia terpaksa secara syar’i. Walaupun mereka berdua tidak
berbaiat, itu tidak berpengaruh pada mereka dan tidak pula pada baiat
kepada khalifah.
Adapun orang yang berkata bahwa tangan yang membaiat itu tangan lumpuh
dan dengan sebab itu baiatnya tidak sempurna maka itu adalah prasangka
dari orang yang berkata bahwa Thalhah merupakan orang yang pertama
membaiat, padahal tidak seperti itu.
Jika disebut seperti itu maka Thalhah sendiri sudah mengatakan, “Saya
sudah membaiat dengan ketetapan hati”, kami katakan, riwayat ini
dilemahkan oleh orang yang ingin mengubah القفا menjadi قفى, sebagaimana
الهوىdirubah menjadi هوي. Itu adalah bahasa Hudzail bukan bahasa orang
Quraisy. oleh sebab itu hal ini merupakan kebohongan yang tidak
tertata.
Adapun perkataan mereka, “يد شلاء tangan yang lumpuh” kalaupun benar,
tidak ada kaitan mereka padanya. Karena sebuah tangan dilumpuhkan dalam
penjagaan Rasulullah shallallahu alaihi wa aalihi wasallam namun
Rasulullah menyempurnakan urusan tangan itu. Berlindung dengan tangan
itu dari segala yang tidak disukai. Perkaranya pun selesai dan takdirpun
dijalankan setelah itu menurut ketentuannya.”
Begitu juga dengan Muawiyah radhiyallahu anhu. Beberapa riwayat yang
shahih menyebutkan bahwa perselisihannya dengan Ali radhiyallahu anhu
hanya tentang mengqsishah pembunuh Utsman, Muawiyah tidak merongrong
kekhilafahannya, bahkan sebaliknya beliau mengakuinya.
Dari Abu Muslimn al-Khaulani, beliau tiba sedang orang-orang yang
bersamanya menuju Muawiyah, mereka berkata, “Anda merongrong Ali ataukah
Anda bersikap seperti dia?”,Muawiyah menjawab, “Tidak! Demi Allah,
sungguh saya tahu bahwa beliau lebih mulia dari saya. Lebih berhak
memegang jabatan khilafah daripada saya, tapi bukankah kalian tahu bahwa
Utsman dibunuh secara zalim, sedangkan saya sepupunya dan penuntut
darahnya? Karena itu, datangilah beliau, katakan kepadanya agar segera
menyerahkan pembunuh Utsman kepadaku, setelah itu saya tunduk padanya.
Datangilah Ali, ajaklah beliau berbicara dengan kalian.” Namun Ali tidak
menyerahkan para pembunuh Utsman kepadanya.
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Ibnu Dizil melalui sanadnya yang sampai ke
Abu Darda’ dan Abu Umamah radhiyallahu anhum, “Mereka berdua menemui
Muawiyah, ‘Wahai Muawiyah, atas alasan apa Anda memerangi lelaki ini
(Ali)?, Demi Allah, beliau lebih dahulu masuk Islam daripada Anda dan
ayah Anda, lebih dekat kepada Rasulullah daripada Anda, lebih berhak
memegang tampuk kekhilafahan daripada Anda!’ Muawiyah menjawab, ‘Saya
memeranginya karena menuntut darah Utsman karena beliau tidak mau
mengqishah para pembunuh Utsman. Menghadaplah kalian berdua kepadanya
dan katakan, ‘Segeralah tumpas para pembunuh Utsman’ niscaya saya adalah
orang pertama yang membaiatnya dari penduduk Syam’.”
Riwayat tentang ini yang sangat masyhur di kalangan para ulama
menunjukkan bahwa Muawiyah tidaklah merongrong kekhilafahan Ali
radhiyallahu anhuma, karena itu para ahli tahqiq dari kalangan ahli ilmu
menulis masalah ini dan menetapkan kesimpulan ini.
Imam al-Haramain, al-Juwaini berkata,“Sesungguhnya Muwaiyah, meskipun
beliau memerangi Ali, tapi beliau tidaklah mengingkari imamahnya, dan
tidak pula mengklaim imamah itu untuk dirinya. Yang beliau inginkan
hanyalah menuntut para pembunuh Utsman dengan sangkaan bahwa ijtihad
beliau benar, padahal salah.”
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Diantara keyakinan Ahlussunnah wal
Jamaah tentang peperangan-peperangan yang terjadi antara Ali dan
Muawiyah radhiyallahu anhuma adalah bahwa Muawiyah tidak merongrong
kekhilafahan Ali dengan adanya ijma’ bahwa ijtihad yang benar berada
pada pihak Ali sebagaimana yang telah lalu. Olehnya, musibah
perselisihan (peperangan) tersebut bukanlah disebabkan karena Muwaiyah
ingin menuntut khilafah. Namun musibah perselisihan (peperangan)
tersebut mencuat karena Muwaiyah dan orang-orang yang bersamanya
menuntut Ali agar menyerahkan para pembunuh Utsman kepada mereka, dimana
Muawiyah merupakan sepupu Utsman. Namun begitu, Ali tetap enggan.”
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata, “Muawiyah tidaklah
mengklaim dirinya sebagai khalifah, tidak berbaiat kepada Ali ketika
memeranginya, tidak memerangi Ali dengan anggapan bahwa dirinya seorang
khalifah dan tidaklah pula beliau berhak sebagai khalifah. Justru beliau
mengakui kekhilafahan Ali. Pengakuan Muawiyah terhadap kekhilafahan Ali
diketahui oleh orang yang bertanya kepada beliau. Semua kelompok
mengakui bahwa Muawiyah tidak sepadan dengan Ali untuk memegang
kekhilafahan. Dan tidak boleh bagi Muawiyah menjadi khalifah meskipun
peluang mengguling kekhilafahan Ali terbuka. Karena keutamaan Ali dan
tiga pendahulunya (Abu Bakar, Umar dan Utsman) dalam hal ilmu, agama,
keberanian dan segala keutamaan bagi mereka itu jelas dan sangat
dikenal.”
Dengan semua ini menjadi pastilah bahwa tidak seorang pun sahabat ingin
merebut kekuasaan Ali radhiyallahu anhu baik yang menyelisihinya maupun
selainnya. Dengan ini pula klaim orang Syiah ini bahwa para sahabat
saling berebut kekuasaan adalah batil, demikian juga tentang perpecahan
umat.
Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin
Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat
tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan
memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi
dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik
menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan
terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah, Rabbul ‘Alamin.
Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan
Rasulullah SAW dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin.
Allah berfirman,
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(an-Nisa: 115)
Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu
akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah
menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara
para sahabat.
Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah
bagian dari wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri
kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim
al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani
dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
Demikian pula sabda beliau,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela
sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya
salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan
menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari
dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)
Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap
terhadap para sahabat Rasulullah SAW. Kita tidak berkata tentang mereka
selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka.
Allah lberfirman,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka
berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.”
(al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad ditanya tentang apa yang terjadi antara dua
sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah . Beliau pun menjawab dengan membacakan
firman Allah.
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan
bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah:
141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang
menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan
untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka
adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang
maksum. Hanya saja, Allah l telah mengampuni dan meridhai mereka semua.
Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat
Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara
sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang
melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal
Jamaah.
Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari
membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat termasuk Perang
Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah di antaranya,
1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul SAW dibicarakan.
Rasulullah bersabda,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri
kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam
al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam
ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi
ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu
maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua
kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah kafir. Adapun
Rafidhah mengafirkan Mu’awiyah. Padahal dengan tegas Rasulullah n
menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf
bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan
sabda beliau,
دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru
mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan,
seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap
sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu,
hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok
syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan
kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah
disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan
musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi
Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kenyataan ini tentu
membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh
jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas
berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari
zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya
dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu
secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan
kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh
dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa
dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang
sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam
keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah
seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke
dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam
pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi
dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu
diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal
Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.
Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin
yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun
silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf
al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita
dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan
menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan
menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa
perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah
kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya
untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin
al-Ash dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Musa al-‘Asy’ari dari
pihak Ali bin Abi Thalib. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar
kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat
masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah
setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah.
Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Ali bin Abi Thalib terus menyibukkan
diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum
Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah n hingga terjadi pertempuran
Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.
Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan & Keutamaan Mu’awiyah
Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin
Abi Thalib dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal
Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali
menggantikan posisi ayahandanya.
Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan
masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan
pertolongan Allah, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang
sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan.
Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib mendamaikan dua golongan besar kaum
muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi
Sufyan.
Terwujudlah berita Rasulullah tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan berkata,
وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ
جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ،
وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi
berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya
anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan
mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.”
(HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i berkata, “Ketika itu, masyarakat
seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H …
Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula,
jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah ditinggikan. Harta
rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum
muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah
8/122)
Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali dan Mu’awiyah
Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki
kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji
kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan
perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan
al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan
kekhilafahan kepada Mu’awiyah.
Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena
kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan
seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk
meninggikan kalimat Allah, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul
bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka).
Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan
sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah. Al-Hasan
berkata,
قَدْ كَانَ جَمَاجِمُ الْعَرَبِ فِي يَدِي يُحَارِبُونَ مَنْ حَارَبْتُ
وَيُسَالِمُونَ مَنْ سَالَمْتُ، تَرَكْتُهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ
تَعَالَى وَحَقْنَ دِمَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang
yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan
kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi
mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad ….”
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad
hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh
adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)
Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti
Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi,
keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya
menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau
merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at
hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad
tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak
korban.
Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun
Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka
pandang paling baik bagi kaum mukminin.
Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka
sesuai dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua
pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku,
Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah,
dari Umar bin Abdul Aziz, beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n فِي الْمَنَامِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
جَالِسَاهُ عِنْدَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَجَلَسْتُ، فَبَيْنَمَا أَنَا
جَالِسٌ إِذْ أُتِيَ بِعَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ، فَأُدْخِلَا بَيْتًا
وَأُجِيفَ الْبَابُ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ
خَرَجَ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ: قُضِيَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. ثُمَّ مَا
كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ يَقُولُ: غُفِرَ
لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ.
Aku melihat Rasulullah dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku
ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan
Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan
ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali
seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang
lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb
Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya,
bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah.
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat
sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah,
seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah,
Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin
al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya,
Sa’d bin Abi Waqqash berkata ketika diajak berperang,
لاَ أُقَاتِلُ حَتَّى يَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ يَعْرِفُ الْكَافِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِ
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang
untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti
siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia
berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini
disepakati oleh adz-Dzahabi.)
Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah di atas. Hadits yang lebih tegas
menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi
Bakrah tentang keutamaan al-Hasan bin Ali. Rasulullah bersabda,
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah
akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum
muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai
‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali, cucu
Rasulullah, pemimpin pemuda ahlul jannah.