Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada seorang Malaikat yang didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang diutus[1]. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat kecuali Allah Ta’ala.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keadaan Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu bertanya kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.
Di antaranya adalah firman-Nya:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي ۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang mengetahui masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi mengetahuinya.
Sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]
Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا إِلَىٰ رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]
Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali kepada Allah semata.
Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari Kiamat -sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْمَسْئُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.”[2]
Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi, begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak mengetahui kapan Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat sudah dekat. Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat, sebagaimana akan dijelaskan.
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula Ibnu Majah dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَقِيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَـى وَعِيْسَى، قَالَ: فَتَذَاكَرُوا أَمْرَ السَّاعَةِ، فَرَدُّوا أَمْرَهُمْ إِلَى إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: لاَ عِلْمَ لِي بِهَا، فَرَدُّوا اْلأَمْرَ إِلَى عِيْسَـى فَقَالَ: أَمَّا وَجْبَتُهَا؛ فَلاَ يَعْلَمُهَا أَحَدٌ إِلاَّ اللهُ ذَلِكَ، وَفِيمَـا عَهِدَ إِلَيَّ رَبِّـي عَزَوَجَلَّ أَنَّ الدَّجَّالَ خَارِجٌ، قَالَ وَمَعِي قَضِيبَانِ، فَإِذَا رَآنِـي، ذَابَ كَمَا يَذُوبُ الرَّصَاصُ. قَالَ: فَيُهْلِكُهُ اللهُ.
“Pada malam aku di-Isra’kan ke langit, aku bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan tentang perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’ Akhirnya beliau berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Di antara wahyu yang diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa dua pedang. Jika dia melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang meleleh.’ Beliau berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]
Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul, dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.
Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau wafat:
تَسْأَلُونِي عَنِ السَّاعَةِ؟ وَإِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللهِ وَأُقْسِمُ بِاللهِ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ تَأْتِي عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ.
‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan ilmunya hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur seratus tahun.’” [4][5]
Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.
Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini adalah pemimpin para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah semoga dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana semua manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana beliau pun bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhuma:
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ.
‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’ [6]
Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya (jari tengah). Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya agar mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya, Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“… Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 187][7]
Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang bodoh, karena ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan menolak anggapan tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang mengaku-aku sebagai ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan. Dia berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan kepadanya, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla pernah bersabda di dalam hadits Jibril:
مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ.
‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’
Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”
Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan penyelewengan makna yang paling buruk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengenal Allah, (maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu bahwa dia adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jujur dalam perkataannya, beliau bersabda:
مَا جَائَنِيْ فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]
Dalam lafazh yang lain:
مَا شُبِّهَ عَلَيَّ غَيْرَ هَذِهِ الْمَرَّةِ.
“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain pada kesempatan ini.”
Sementara dalam lafazh yang lain:
رُدُّوْا عَلَيَّ اْلأَعْرَابِيَّ…
“Bawa kepadaku orang badui itu…”
Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia adalah Jibril setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar Radhiyallahu anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]
Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau mengetahui bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang waktu berlalu!”
Kemudian ungkapan dalam hadits: (مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya, maka setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]
Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda dan mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih ketika ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.
Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang diungkapkan oleh as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas pertanyaan tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya selama seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal ini adalah bathil tidak ada landasannya sama sekali.”
Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam masalah ini dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di dalamnya beliau berkata:
Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya masa umat ini lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus tahun; karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh ribu tahun, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di akhir tahun keenam ribuan.[11]
Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang kesimpulannya sama sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus tahun. Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan landasan oleh beliau:
Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku bermimpi, kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:
إِذَا أَنَا بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ عَلَى مِنْبَرٍ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ، وَأَنْتَ فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً. فَقَالَ: أَمَا الْمِنْبَرُ الَّذِيْ رَأَيْتَ فِيْهِ سَبْعُ دَرَجَاتٍ وَأَنَا فِي أَعْلاَهَا دَرَجَةً، فَالدُّنْيَا سَبْعَةُ آلاَفِ سَنَةٍ، وَأَنَا فِي آخِرِهَا أَلْفًا.
“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di atas mimbar yang memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling tinggi,” kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa (umur) dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” [12]
Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa hadits ini dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara mauquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih, dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan beberapa atsar.
Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “… dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh ribu, agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu, niscaya tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan terbitnya matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun sebelum masa kita ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh ribu, sementara tidak terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa dari tahun ketujuh ribu lebih dari tiga ratus tahun. [14]
Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah, dan (perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita mengetahui umur dunia, niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat. Anda telah mengetahui sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak diketahui kapan terjadinya kecuali oleh Allah Ta’ala.
Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu (pendapat as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah, sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi menyatakan bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal seratus tahunan dan ‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian beliau berdiam di bumi selama empat puluh tahun, manusia berdiam di bumi setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun, dan jarak di antara dua tiupan (Sangkakala) adalah empat puluh tahun, ini semua mesti terjadi dalam masa dua ratus tahun [15]. Lalu berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar sekarang maka mesti dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun seribu enam ratus.
Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi umur dunia.
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab al-Manaarul Muniif beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah hadits. Beliau berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash al-Qur-an yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh ribu tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya hadits ini shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi dua ratus lima puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]
Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia mengatakan perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih dari enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.
Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu dengan ribuan dan ratusan tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan menyalahkan mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras sementara mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah hadits:
اَلدُّنْيَا جُمْعَةٌ مِنْ جُمَعِ اْلآخِرَةِ.
“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di akhirat.”
Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak shahih sanad setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara tepat.[17]
Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan muncul-nya tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini akan seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang menetapkannya sebagai sebuah ijtihad dari beliau, dan awal perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu membutuhkan cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat tersebut) yang bisa mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana (menentukan) waktu terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui pada tahun manakah ia akan terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang diketahui) bahwa ia akan terjadi pada hari Jum’at di akhir waktunya. Waktu di mana Allah menciptakan Adam Alaihissallam, akan tetapi Jum’at yang mana? Tidak seorang pun mengetahui tepatnya hari tersebut kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian pula masalah tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya yang pasti, wallahu a’lam.[18]
[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Barzanji berpendapat bahwasanya Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, akan tetapi dilarang mengabarkannya. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal.
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya Shallallahu ‘laihi wa sallam ‘anil Iimaan wal Islaam wal Ihsaan wa ‘Ilmis Saa’ah wa Bayaanin Nabiyyi Shallallahu ‘laihi wa sallam lahu (I/114, al-Fat-h).
[3]. Musnad Ahmad (V/189, no. 3556), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Sunan Ibni Majah (II/1365), tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, al-Bushairi berkata dalam kitab az-Zawaa-id, “Ini adalah sanad yang shahih, rijalnya tsiqah.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/488-489), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Akan tetapi Syaikh al-Albani melemahkannya dalam kitab Dha’iif al-Jaami’ish Shaghiir (V/20-21, no. 4712).
[4]. Maksudnya adalah tidak ada makhluk hidup yang hidup pada malam itu hidup selama seratus tahun, hal ini tidak menafikan adanya makhluk hidup lahir setelah malam itu yang mengalami hidup selama seratus tahun sebagaimana diungkapkan oleh an-Nawawi.-pent.
[5]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Radhiyallahu anhum, bab Bayaan Ma’na Qaulihi Shallallahu ‘laihi wa sallam ‘alaa Ra’-si Mi-atis Sanah la Yabqa Nafsun Manfuusah (XVI/90-91, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘laihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’ah ka Haataini, (XI/347, al-Fat-h).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (III/526).
[8]. Musnad Ahmad (I/314-315, no. 374), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.” Sementara lafazh Muslim adalah:
مَا أَتَانِي فِي صُورَةٍ إِلاَّ عَرَفْتُهُ غَيْرَ هَذِهِ الصُّورَةِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa pun kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.”
[9]. Shahiih Muslim kitab al-Iimaan, bab Imaaraatus Saa’ah (I/159, Syarah an-Nawawi).
Ibnu Hajar t berkata, “Adapun yang disebutkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits:
وَإِنَّهُ لَجِبْرِيلُ نَزَلَ فِي صُورَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.
‘Ia adalah Jibril yang turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi.’
Sesungguhnya ungkapan “turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi” adalah Wahm, karena Dihyah adalah orang yang dikenal di kalangan mereka, sementara ‘Umar berkata, “Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Dan Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Iimaan dengan bentuk (jalan) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i, di akhir ungkapannya beliau hanya bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan masalah agama kepada kalian.” Inilah riwayat al-Mahfuuzhah (yang terjaga) karena kesesuaiannya dengan riwayat yang lainnya, (Fat-hul Baari I/125).
[10]. Al-Manaarul Muniif (hal. 81-82), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat ta’liq Syaikh terhadap ungkapan Ibnul Qayyim, lihat pula Majmu’ al-Fataawaa’, karya Ibnu Taimiyyah (IV/341-342).
[11]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/86), karya as-Suyuthi, cet. II (1395 H), Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[12]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/88).
[13]. Lihat kitab Taariikhul Umam wal Muluuk, karya Abu Ja’far ath-Thabari (I/ 5-10) cet. Darul Fikr, Beirut.
[14]. Al-Haawi (II/88).
[15]. Al-Haawi (II/87).
[16]. Al-Manaarul Muniif (hal. 80) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat kitab Majmu’ al-Fataawaa (IV/342), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/15) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[18]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 628), karya Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad Ahmad al-Qurthubi, disebarluaskan oleh al-Maktabah as-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah.